Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Publik yang Terpapar: Sebuah Catatan tentang Budaya Politik, Media Baru, dan Socialpreneur

30 September 2015   10:52 Diperbarui: 30 September 2015   15:33 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang publik tidaklah sesederhana menempatkan sebuah ruang yang dapat dinikmati oleh publik secara luas. Monas, Taman Suropati, Malioboro, pasar, jalan, taman bermain sampai lapangan terbuka adalah beberapa contoh tempat bagaimana ruang publik diterjemahkan oleh kebanyakan orang.

Ruang publik sebenarnya adalah sebuah tempat mediasi/pertemuan/debat/interaksi sosial  antara elemen masyarakat, komunitas, dan pemerintah yang berkaitan dengan partisipasi publik yang bertujuan untuk membentuk aksi sosial yang mengaktifkan warga yang tadinya non-aktif menjadi aktif secara sosial yang secara linier nantinya mempengaruhi  area lokal (lokalitas) mereka dan pada akhirnya, mereka memiliki kemampuan merepresentasikan isu-isu lokal ke luar dari komunitas masyarakat tersebut menuju masyarakat yang lebih besar kapasitasnya dengan beragam perbedaan di dalamnya, Stuart MacDonald menyebutnya dengan “Big Society”.

 

Secara sederhana, gambar 1 menerangkan bahwa ruang publik berperan mengakomodasi secara partisipatif sehingga melahirkan masyarakat yang dapat menyuarakan berbagai problematika kemasyarakatan. Ruang publik menjadi semacam tempat untuk mengekspresikan “kegalauan” yang dapat merusak esensi demokrasi. Inilah mengapa ruang publik yang harus diciptakan dan dikembangkan oleh pemerintah harus ditujukan pada dimensi ruang publik yang lebih tinggi nilainya, bukan sebatas tempat, bukan seberkas hitam di atas putih, namun juga perwujudan dari interaksi sosial yang mengedepankan kesetaraan dan mengakomodir anak muda, orang tua, orang cacat, dan bahkan, orang yang telah menderita sakit cukup lama. Ini termasuk bagaimana setiap warga dapat mengekspresikan pemikirannya tanpa rasa takut, bagaimana setiap anak muda dapat menunjukkan kreativitasnya kepada khalayak yang tidak didapatkannya di sekolah, dan bagaimana pula pemimpin di pemerintahan bahkan dapat berinteraksi dengan masyarakat awam tanpa prosesi seremonial sedikitpun di ruang publik.

“Public Spaces for All” yang diusung oleh PBB dan lebih lanjut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) mendorong secara berkelanjutan bahwa prosesi ruang publik dapat sinambung dengan berjalannya gerakan kultural-sosial-politis masyarakat untuk mendudukan posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan. Inilah yang sebenarnya “hilang” dalam mata rantai pembangunan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa konsepsi ruang publik perkotaan semakin terbatas, mall-mall disulap berlipat jumlahnya,  sementara trotoar jalan, taman, lapangan, sampai jembatan penyebrangan sudah bergeser menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian warga yang telah mematikan hak pejalan kaki. Belum lagi, deviasi sosial yang terjadi tatkala taman, lapangan, dan trotoar jalan seringkali dijadikan tempat berafiliasinya geng (kelompok sosial) yang sering kali menganggu kepentingan umum. Pembiaran ini pada akhirnya memberikan peluang bagi warga untuk kreatif dan mandiri memanfaatkan ruang-ruang yang semakin terbatas tadi. Pemanfaatan lahan secara spontan seperti jembatan layang di Pasar Rebo, Jakarta Timur dijadikan tempat pacaran atau sekadar melihat pemandangan lalu lintas ibukota, trotoar di depan pasar Kramat Jati yang dimanfaatkan untuk jualan, pemanfaatan lahan di pinggir hutan kota Cijantung  untuk tempat mangkal ojek online sebagai titik pertemuan untuk sekedar berbagi pengalaman, beristirahat atau menunggu pelanggan dari sekitar area lokasi tersebut.

Gambar 2 Salah satu suasana di jembatan layang Pasar Rebo (Jakarta)

Sampai di titik ini, ruang publik telah menjadi komoditas yang dijadikan privat oleh sebagian warga yang mengambil keuntungan dari keberadaan ruang publik tadi. Namun, bagaimana jadinya jika ruang privat didesain menjadi ruang publik yang dapat dinikmati berbagai khalayak masyarakat dan bagaimana kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK)  menjadi bentuk ruang publik dalam dunia maya yang memiliki potensi besar mengubah kultur interaksi sosial antar individu dan masyarakat.

Dari privat menjadi publik (generasi lalu)

Melihat ke belakang, generasi yang lahir di tahun 70-80-an mungkin masih dapat menikmati ruang publik yang menghidupkan perasaan saling memiliki dan persinggungan fisik lewat sebuah pertemuan yang menghadirkan konflik, kematangan/kedewasaan, dan kebersamaan. Dari sebuah jalan, teras rumah atau garasi yang privat dijadikan ruang bertemu dan bertamu antar sesama warga/membangun pertemanan, muncullan ide-ide atau wacana untuk membuat sebuah komunitas. Salah satunya membentuk grup band Slank. Tentu saja, untuk soal bagaimana grup tersebut akhirnya mengubah area privat mereka seperti rumah atau tempat mereka biasa berkarya menjadi ruang publik melahirkan fenomena sosial tersendiri. Para penggemar Slank misalkan, sering berkumpul di Jalan Potlot III, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Di rumah Slank tersedia kamar berukuran dua kali tiga meter untuk para Slankers dari luar kota. Halaman rumah sampai kamar tersedia untuk mendidik komunitas Slank bukan hanya untuk mendengar karya Slank, namun tempat mendialogkan ide dan juga untuk melahirkan karya-karya baru dalam komunitas fans Slank.  Fenomena privat ke publik terjadi tatkala mereka mempersilakan masyarakat untuk masuk ke dalam arena di mana karya Slank diproses secara masif. Inilah contoh bagaimana grup musik telah menghadirkan ruang publik untuk mengekspresikan pandangan dan pemikiran fans lewat karya musik.

Gambar 3 Gang Potlot (slank.com)

 

 

Slank adalah sebuah simbol perlawanan bahkan saat Orba berkuasa, Slank mengambil peran penting menghidupkan wacana budaya untuk mengekspresikan kritik rezim Orba. Sebagai  catatan, tidak banyak musisi di Indonesia yang berani melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan politik pemerintahan, apalagi pada rezim Orba kala itu.

Manipulasi di sini / persoalan moral di sana / ribut soal harga diri / permainkan kuasa / lalu mau bilang apa dan bagaimana / mending mainkan bluesku // (Apatis Blues-Slank:1990). Atau Hey Bung yang berkuasa coba turun ke jalan / lihat-lihat kondisi biar pasti // (Hey Bung!-Slank:1994)

Dalam hal ini, rumah Slank menyimbolkan budaya politik sebagai bentuk protes sosial dalam sistem politik semenjak Orba berkuasa. Jelas, ruang di mana karya Slank diproduksi telah menjadi ruang publik yang dapat melahirkan fans yang mampu mengekspresikan karya lewat karya musik, meneruskan perjuangan Slank selama ini dengan lirik-lirik yang menyindir. Inilah yang diharapkan dari ruang publik yang berperan sebagai kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan.

Ruang cyber vs ruang publik (generasi baru)

Berbeda dengan generasi sebelumnya, kedigdayaan TIK melalui media baru (social media dan social networking) seperti facebook, twitter, blog, youtube, dan aplikasi media sosial lainnya telah mengubah gaya komunikasi menjadi lebih privat, namun terkomunalisasi dan horisontalisasi. Media baru adalah penanda baru lahirnya generasi yang suka “mengeluh” dan sering “galau”, namun memiliki kemampuan membangun simpul-simpul kebersamaan artifisial yang lebih banyak dari generasi sebelumnya.

Sebagaimana data yang dilansir dari Kominfo (2014) bahwasanya pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Hubungan relasional, dengan berbagai warga di penjuru dunia, telah dimulai dan akan semakin terkristalisasi di masa depan. Kita menjadi semakin dekat dengan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Inilah spektrum baru “digital society” yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang bertemu dan bertamu antar warga untuk  selalu up to date dalam menyaring informasi dari media mainstream sekaligus menjadi ruang kepedulian untuk saling berempati dan berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman.

Proses sosialisasi dalam ruang cyber, secantik apapun dipoles, entah fitur atau foto profil dalam sebuah akun media sosial tetap berkesan di dunia maya, karena sesampainya di dunia nyata, tampaklah dilema apabila tidak ada kesesuaian antara yang nyata dan maya tersebut. Sebagai contoh, salah seorang teman memiliki 10.000 akun media sosial untuk memenangkan sebuah kompetisi karena menang atau tidaknya ditentukan dari jumlah like. Modus ini memperlihatkan bahwa penentuan sebuah kualitas pun pada akhirnya harus berhadapan dengan hal-hal yang nyata, termasuk ruang publik di dalamnya.

Komunitas dalam dunia cyber memang patut diperhitungkan, namun tanpa mengalpakan ruang publik di dalamnya. Ruang publik tetap harus mendapat tempat yang layak karena ruang publik merepresentasikan kondisi riil tentang apa itu aman, nyaman, dan berdaya dari sebuah bangsa yang sangat heterogen ini. Ilustrasinya sebagai berikut,

 Apakah beda rasanya seorang anak yang dicium sang bunda hanya melalui ucapan via telepon atau langsung menyentuh fisiknya? 

Apakah beda rasanya ketika orang tua hanya mengatakan “Ayah mendukungmu nak” saat pertandingan penting yang sedang diikuti sang anak atau si Ayah menontonnya langsung di lapangan?

Apakah beda rasanya hanya mengucap kata cinta kepada istri atau suami Anda via email atau mengucap kata “cinta” sambil memeluknya erat?

Tentu saja BEDA. Mungkin kita bisa belajar dari bagaimana Steve Jobs mengelola rumah tangganya termasuk cara mendidik anak-anaknya. Nick Bilton, wartawan Newyork Times pernah bertanya kepada Steve Jobs, “pasti anak-anakmu sangat mencintai Ipad?”, Steve Jobs hanya menjawab “Mereka sama sekali tidak menggunakannya.  Kami sangat membatasi waktu penggunaannya. ”  Pencipta Ipad yang telah wafat itu pun memberi pukulan telak bagi orang tua pengagum teknologi, yang lebih mencintai Ipadnya daripada ngobrol dengan anak-anaknya.

Steve Jobs bahkan membiasakan keluarganya, istri beserta anak-anaknya makan malam bersama di meja yang panjang, mendiskusikan buku dan sejarah serta berbagai hal lainnya. Katanya, kepada Nick “bahkan tidak satupun dari mereka yang benar-benar ketagihan terhadap teknologi, sampai mengeluarkan Ipad dan berbagai perangkat komputer lainnya di meja makan.”

Suasana informal yang bermakna seperti yang diajarkan Steve Jobs itulah yang perlu disadari oleh siapapun kita, bahwa anak-anak adalah tulang punggung bangsa ini kelak. Bersama mereka, tantangan di hadapan lebih keras dan hebat. Untuk itulah, kita bergiat untuk tahu dunia mereka, dunia yang selama ini tidak terdeteksi karena ketidaktahuan kita tentang apa saja yang mereka lakukan di dunia maya.

Gambar 4 Family Dinner in 2010's (pinterest.com)

 

Inilah poin mengapa ruang cyber tidak bisa menjadi sandaran utama. Ruang cyber adalah pelengkap dari eksistensi ruang publik yang seharusnya menjadi ruang untuk mengakomodir segala kecemasan, kegundahan, keriangan, dan keunikan kepribadian dari warga, komunitas, dan segenap elemen masyarakat.

Konklusi

Apa yang diungkapkan Stuart MacDonald pada gambar 1 di atas menunjukkan bahwa ruang publik memiliki kemampuan membangun individu yang terlibat langsung dalam lingkungan sosial masyarakat yang lebih luas. Dengan kecakapan sosial yang intens dilakukan, kita berharap akan lahir socialpreneur yang bertugas untuk mengidentifikasi adanya  stagnasi masyarakat dan menemukan apa yang tidak membuatnya bekerja, kemudian memecahkan masalah dengan mengubah sistem, menyebarkan solusi, dan meyakinkan orang untuk melakukan perubahan dan tidak puas dengan hanya memberikan "ikan" atau mengajarkan bagaimana"memancing" tetapi dia akan mengubah cara berpikir industri "perikanan" (Ashoka Fellows). Sebagaimana Guy Kawasaki katakan “The best reason to start an organization is to make meaning; to create a product or service to make the world a better place.” Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun