Slank adalah sebuah simbol perlawanan bahkan saat Orba berkuasa, Slank mengambil peran penting menghidupkan wacana budaya untuk mengekspresikan kritik rezim Orba. Sebagai catatan, tidak banyak musisi di Indonesia yang berani melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan politik pemerintahan, apalagi pada rezim Orba kala itu.
Manipulasi di sini / persoalan moral di sana / ribut soal harga diri / permainkan kuasa / lalu mau bilang apa dan bagaimana / mending mainkan bluesku // (Apatis Blues-Slank:1990). Atau Hey Bung yang berkuasa coba turun ke jalan / lihat-lihat kondisi biar pasti // (Hey Bung!-Slank:1994)
Dalam hal ini, rumah Slank menyimbolkan budaya politik sebagai bentuk protes sosial dalam sistem politik semenjak Orba berkuasa. Jelas, ruang di mana karya Slank diproduksi telah menjadi ruang publik yang dapat melahirkan fans yang mampu mengekspresikan karya lewat karya musik, meneruskan perjuangan Slank selama ini dengan lirik-lirik yang menyindir. Inilah yang diharapkan dari ruang publik yang berperan sebagai kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan.
Ruang cyber vs ruang publik (generasi baru)
Berbeda dengan generasi sebelumnya, kedigdayaan TIK melalui media baru (social media dan social networking) seperti facebook, twitter, blog, youtube, dan aplikasi media sosial lainnya telah mengubah gaya komunikasi menjadi lebih privat, namun terkomunalisasi dan horisontalisasi. Media baru adalah penanda baru lahirnya generasi yang suka “mengeluh” dan sering “galau”, namun memiliki kemampuan membangun simpul-simpul kebersamaan artifisial yang lebih banyak dari generasi sebelumnya.
Sebagaimana data yang dilansir dari Kominfo (2014) bahwasanya pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Hubungan relasional, dengan berbagai warga di penjuru dunia, telah dimulai dan akan semakin terkristalisasi di masa depan. Kita menjadi semakin dekat dengan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Inilah spektrum baru “digital society” yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang bertemu dan bertamu antar warga untuk selalu up to date dalam menyaring informasi dari media mainstream sekaligus menjadi ruang kepedulian untuk saling berempati dan berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman.
Proses sosialisasi dalam ruang cyber, secantik apapun dipoles, entah fitur atau foto profil dalam sebuah akun media sosial tetap berkesan di dunia maya, karena sesampainya di dunia nyata, tampaklah dilema apabila tidak ada kesesuaian antara yang nyata dan maya tersebut. Sebagai contoh, salah seorang teman memiliki 10.000 akun media sosial untuk memenangkan sebuah kompetisi karena menang atau tidaknya ditentukan dari jumlah like. Modus ini memperlihatkan bahwa penentuan sebuah kualitas pun pada akhirnya harus berhadapan dengan hal-hal yang nyata, termasuk ruang publik di dalamnya.
Komunitas dalam dunia cyber memang patut diperhitungkan, namun tanpa mengalpakan ruang publik di dalamnya. Ruang publik tetap harus mendapat tempat yang layak karena ruang publik merepresentasikan kondisi riil tentang apa itu aman, nyaman, dan berdaya dari sebuah bangsa yang sangat heterogen ini. Ilustrasinya sebagai berikut,
Apakah beda rasanya seorang anak yang dicium sang bunda hanya melalui ucapan via telepon atau langsung menyentuh fisiknya?
Apakah beda rasanya ketika orang tua hanya mengatakan “Ayah mendukungmu nak” saat pertandingan penting yang sedang diikuti sang anak atau si Ayah menontonnya langsung di lapangan?