Kurikulum pendidikan saat ini disinyalir lebih banyak ditentukan oleh pendekatan kepentingan vertikal (pusat). Pendidikan yang menjadi pilar pembangunan pun mengalami kemunduran. Kurikulum banyak berubah-ubah, bukan karena alasan substansial, melainkan kepentingan sepihak pembuat kebijakan.
Kurikulum 2013 sudah menjadi sebuah kebijakan, guru mau tidak mau harus mengikuti kekhasan yang melekat padanya. Adabeberapa hal yang belum diperhatikan dalam implementasi kurikulum 2013. Yaitu: (1) tidak semua guru sama kualitasnya, karena kualitas guru ditopang oleh LPTK tempat mereka menimba ilmu, nuansa pembelajaran di kampus, lingkungan sosiologis-kultural tempat ia tumbuh dan berkembang, dan berbagai aspeklainnya, (2) mencermati kebutuhan tenaga guru masih berbasis kuantitatif, belum kualitatif. Masih banyak sekolah yang belum ditopang guru profesional dalam mengajarkan materi pelajaran, (3) apalagi berbicara distribusi yang seimbang antar daerah yang maju, dan belum maju, (4) hegemoni panggilan jiwa sebagai guru mulai pudar di tengah pragmatisme yang menghimpit kebutuhan hidup, sehingga banyak sekali guru, khususnya di daerah, yang menyisipkan waktunya untuk menjadi tukang ojek, tukang sayur, pemulung, memberi les tambahan, bahkan digaji dengan gabah. Sampai kini, persoalan pendidikan menjadi semakin kompleks, meski sudah ditopang oleh anggaran 20 persen APBN.
Kurikulum tidak ada yang sempurna sampai kapanpun, karena kurikulum terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, semakin kurikulum dibuat sepihak tanpa pelibatan guru dan masyarakat lokal (dewan sekolah), maka yang terjadi adalah pemaksaan perubahan dalam pedagogi, bukan pada peningkatan tanggung jawab profesional dalam penilaian berbasis sekolah yang lebih besar. Townsend (1997) menjelaskan bahwa pemerintah hanya membuat kerangka kurikulum sekolah yang bukan dokumen petunjuk, namun dimaksudkan untuk memberikan dukungan pemerintah yang diharapkan dalam perencanaan, pengembangan, dan peninjauan program sekolah. Kerangka kurikulum juga tidak bersifat perintah dan juga tidak dipergunakan untuk bahan ujian nasional. Di era pemerintah Jokowi-JK nanti, peranan pemimpin sangat penting mengubah sistem budaya.
Praktiknya, di Victoria, Australia, sejak tahun 1980-an gerakan bertahap untuk semua sekolah menjadi Sekolah Masa Depandijalankan oleh posisi pemerintah yang kuat dan menteri pendidikan yang percaya terhadap keterlibatan masyarakat lokal di sekolah. Itumengindikasikan bahwa pemerintah harus mampu menopang masukan dari arus bawah untuk melihat aspek sosiologis dan kultural masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Pai (1990) menjelaskan bahwa (1) setiap budaya memiliki ciri khas, dan perbedaan ini bisa menjadi kendala bahkan konflik horizontal dalam pembelajaran di kelas yang multikultural, (2) pengetahuan ihwal budaya yang beragam atau pengetahuan silang etnis Nusantara seyogyanya terintegrasikan dalam kurikulum pendidikan guru, (3) pemahalaman silang etnis Nusantara merupakan basis untuk menyusun bahan ajar dan strategi pembelajaran yang menjadi kompetensi pedagogi dalampayung profesionalisme guru (Al Wasilah, 2012).
Federasi Serikat Guru Indonesia menemukan lima persoalan utama dalam pelaksaan kurikulum 2013, antara lain pendistribusian buku, penggunaan dana bantuan operasional sekolah, isi buku, percetakan, dan pelatihan guru (Kompas, 11/09/2014). Pelaksaaan kurikulum 2013 sudah mengalami persoalan sebelum implementasinya. Artinya kemajuan sekolah baik guru atau siswa tidak dapat disamaratakan kualitasnya mengingat persoalan-persoalan teknis tersebut yang sangat menganggu proses pembelajaran di sekolah. Di Selandia Baru, pengelolaan mutu pendidikan sudah dimulai sejak tahun 1987 oleh perdana menteri David Lange dan menemukan bahwa persoalan yang dialami Selandia Baru itu persis sama dengan yang dialami Indonesia saat ini, yaitu, sentralisasi berlebihan dalam pembuatan keputusan, kerumitan, kurangnya informasi dan pilihan, kurangnya praktik manajemen yang efektif dan perasaan ketidakberdayaan (Rae, 1997).
Kurikulum yang mudah berubah karena pergantian menteri, dan pergantian kebijakan karena pragmatisme politik yang begitu kentara siapapun menteri pendidikannya. Apakah sudah cukup kita katakan pendidikan Indonesia sudah berhasil karena anak-anak Indonesia mendapat prestasi dalam olimpiade fisika dan matematika. Lalu, tiap-tiap sekolah berlomba-lomba membuat sekolah bertaraf internasional, sekolah persiapan pemenang nobel, dan lain sebagainya. Kritik Winarno Surahkmad, apakah pendidikan sesempit dan sedangkal target (sampingan) itu? Winarno mempertanyakan tentang masalah fundamental dehumanisasi, dekulturisasi, dan deindonesianisasi.
Kurikulum 2013 bisa jadi jalan mundur bagi dunia pendidikan, karena ketidaksiapan kompetensi guru, buku pelajaran baru, mekanisme yang juga baru, dan lain sebagainya. Selain itu, kurikulum 2013 mencerabut hak anak untuk berkembang karena padatnya jam mata pelajaran. Tumbuh berkembannya jumlah bimbel yang signifikan merupakan antitesis dari sebuah pembaruan kurikulum. Bimbel adalah sang pahlawan siswa dalam menjawab soal-soal UN, lebih daripada yang diajarkan di sekolah. Bahkan tidak sedikit guru yang menjadikan praktik les tambahan dengan tarif tertentu untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap mata pelajaran dan tentu saja, perilaku tersebut mendiskreditkan siswa yang secara ekonomi lemah dan tak berdaya, dan pastinya dibedakan dalam nilai dan perlakuan di kelas. Padahal, tidak semua pembelajaran mesti dilakukan di kelas atau sekolah. Di masa silam, kita diingatkan oleh Soedjatmoko, bahwa program pembinaan untuk membantu anak-anak menjalani proses sosialisasi menuju masa depan yang terbuka melalui perkembangan otak dan perkembangan watak. Program untuk memberikan pendidikan formal regular dengan orientasi baru, dan program untuk mengajarkan keterampilan sosial baru melalui jalur-jalur non formal. Pemikiran Soedjatmoko 30 tahun silam tersebut masih relevan untuk dijalankan, mengingat kurikulum 2013 ini hendak memangkas waktu sosial siswa untukberkembang di habitus yang lain, seperti lingkungan keluarga dan sosialnya, karena padatnya jam waktu belajar mereka. Prosesi ini sudah masuk ke dalam ranah dehumanisasi terhadap anak didik, yang akan mendentruksi potensi, aspirasi, dan haknya sebagai warga negara yang perlu menjawab tantangan zaman yang lebih kompleks di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H