(photo courtesy of: www.123rf.com)
“Cik[1], lu orang mana sih?”
“Orang Jawa.”
“Boong ah, wong jelas-jelas mata lu sipit gitu. Pasti orang Medan ya? Atau Pontianak?”
“Keluarga gw semua dari Jawa Tengah kok. Bokap gw orang Jepara, nyokap gw orang Blora. Gw lahir di Semarang. Kurang Jawa apalagi?”
“Tapi lu ga ada Jawa-Jawanya sedikitpun ah! Dirumah pasti ngomongnya bahasa Mandarin ya lu?”
”Enggak kok. Meski udah lama tinggal di Jakarta, tapi bokap nyokap masih pakenya bahasa Jawa”
“Coba jawab gw kalo gitu. Ci, piye kabare[2]?
“wong iki dikandani pirang kali ok sih ngeyel. Wes sak karepmu ngono lah emboh aku!”[3]
Sepenggal percakapan diatas adalah percakapan riil yang terjadi di kehidupan nyata, bahkan sering saya temui selama ini. Banyak orang masih berpikir bahwa orang Tionghua yang tinggal di Indonesia pasti berasal dari Medan, Pontianak, atau asli Jakarta; dan mereka pasti berbicara dalam bahasa dialek atau bahasa Indonesia. Telinga ini masih tergelitik rasanya jika mendengar seseorang yang secara fisik adalah orang Tionghua, lengkap dengan mata sipit dan kulit kuning, tetapi ketika berbicara malah lancar berbahasa Jawa lengkap dengan aksen medoknya.
Ya, sebagai keluarga keturunan Tionghua asal Jawa Tengah yang sekarang sudah lama tinggal di Jakarta, ungkapan rasa tidak percaya seperti itu masih kerap saya dengar sehari-hari. Tidak jarang teman-teman saya tergelak ketika mendengar saya berbicara dalam bahasa Jawa, atau ketika melihat orangtua saya dengan fasihnya mengobrol dalam bahasa Jawa medok. Mereka biasanya akan berkomentar “wah, orangtuamu hebat juga ya bisa lancar begitu.” Padahal, bahasa pertama orangtua saya ya adalah bahasa Jawa. Mereka lahir, besar, dan mengenyam pendidikan di Jawa. Ayah saya bahkan bisa mengerti dan berbahasa Jawa Kromo Inggil (Jawa Halus).