Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dua Jenis Bambu Penting Saat Puasa dan Lebaran

14 Mei 2021   07:05 Diperbarui: 14 Mei 2021   08:31 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dian Ali Rachman/Fotokita.net

Ini tentang tradisi yang mulai hilang, tentang kebiasaan yang dilupakan.

Bagi generasi 1980-an, bulan puasa identik dengan musim libur. Sekolah diliburkan untuk memberi kesempatan agar kaum muslim fokus untuk beribadah. Perubahan terjadi di awal 1980, saat awal tahun ajaran diubah ke Juli dan libur bulan puasa dihapuskan. Namun demikian, puasa dan lebaran tetap menjadi saat yang menyenangkan.

Bagi masyarakat desa, bambu adalah tanaman multi-fungsi. Bambu digunakan untuk membuat rumah, memagar ladang hingga untuk membuat layangan dan meriam bambu. Menjelang puasa datang, kami anak-anak akan berangkat ke hutan untuk mencari bambu betung berukuran besar. Di hutan tak jauh dari kampung kami terdapat banyak pohon bambu betung itu. Jenis bambu ini ukurannya lebih besar dengan daging yang lebih tebal. Kami menyebutnya ‘batuang bana’, bambu yang sesungguhnya. Bambu itu kami potong seukuran lebih kurang dua meter dan disandang ke rumah.

Sampai di rumah, bambu itu direndam dulu agak dua-tiga hari agar kuat. Setelah itu bagian atasnya dibolongi. Hanya ruas di bagian bawah saja yang dibiarkan utuh. Kami juga membuat lobang kecil di bagian samping, untuk memasukkan minyak tanah dan api. Jika selesai, maka mainan meriam bambu telah bisa dipanaskan.

Setiap anak berharap bunyi meriamnya yang paling menggeletar. Permainan meriam bambu umumnya dilakukan anak lelaki. Kami memainkannya menjelang buka puasa, sambil menunggu azan magrib. Permainan akan makin ramai ketika lebaran tiba. Saat itu mercon merupakan barang mahal yang berbahaya. Bagi kami anak kampung, bermain mercon itu layaknya membakar uang. Jadi kami tidak membeli mercon, tapi lebih suka memainkan meriam bambu. Karena memang dipilih dengan baik, bambu itu biasanya bertahan cukup lama.  

Tiga hari menjelang lebaran, kami kembali masuk  hutan untuk mencari bambu. Kini bambu yang kami cari adalah jenis talang. Jenis bambu ini lebih tipis dengan ukuran ruas yang lebih panjang. Talang itu biasanya digunakan untuk galah. Tapi kami mencarinya untuk memasak lemang. Sebenarnya ada beberapa penduduk yang menjual talang yang mereka cari di hutan. Tapi bagi kami mencari bambu talang di hutan itu ibarat berekreasi. Jadi banyak dari kami yang lebih suka mencari ke hutan daripada membelinya.

Talang ukurannya lebih kecil, sekira sebesar lengan orang dewasa. Karena tipis, tidak berat saat disandang pulang. Sampai di rumah, talang itu akan dipotong di bagian ruasnya. Sepotong tiap ruas. Nah, potongan talang itulah yang akan digunakan ibu-ibu untuk memasak lemang pulut.

Lemang pulut (hitam, putih, maupun merah) merupakan makanan wajib saat hari besar. Apalagi lagi saat lebaran. Saya paling suka lemang pisang, yaitu lemang pulut yang dicampur pisang. Setiap keluarga wajib memasak lemang saat lebaran. Saya masih ingat, nenek yang lagi sakit tetap berkeras hati untuk memasak lemang. Tak mau dilarang melemang. Alasan beliau,” Malu kita jika tidak melemang. Kelihatan sekali kalau kita orang tak punya..”. Ternyata memasak lemang bukan sekadar soal makanan; tapi juga harga diri.

Saat paling ditunggu dari memasak lemang adalah ketika lemang itu mulai mendidih dan pulutnya yang matang mencuat keluar dari bambu. Pulut yang masih penuh dengan santal kental itu kami sebut pucuk lemang. Nah itulah bagian lemang paling manis.

Biasanya lemang dimakan bersama tapai. Bagi saya justru itu makanan biasa. Tak perlu menunggu lebaran.  Tapi lemang pulut putih dengan kuah gulai daging berbumbu lengkap, hanya tersedia saat lebaran. Makanan lain yang selalu dimasak saat lebbaran adalah gulai dan rendang daging. Dari seluruh masakan lebaran, lemang pulut putih yang dimakan dengan kuah gulai daging adalah makanan paling aduhai.

Sejak nenek meninggal, keluarga kami jarang memasak lemang pulut. Apalagi sejak saya dan adik-adik merantau ke kota lain. Kata ibu, tiap kali memasak lemang, selalu saja tidak habis, mubazir. Karena jumlah anggota yang mengecil, tiap keluarga kini memasak lemang hanya beberapa batang saja. Kalau mau memasak lemang, kami akan beritahu keluarga lain agar berbarengan memasaknya.Tidak seperti dulu, satu keluarga bisa memasak 15-20 batang. Oleh sebab itu, tiap keluarga harus menyiapkan tempat pembakaran untuk memasak lemang sendiri. Kini, beberapa keluarga bergabung di tungku yang sama.

Karena kebutuhan talang untuk membuat lemang tidak banyak, kini orang tak lagi mencari sendiri talang bambu ke hutan. Cukup membelinya di pasar agak beberapa batang saja. Lagi pula, hutan sudah banyak dirambah dan bambu jauh berkurang. Sementara anak-anak lebih senang main gadget daripada berekreasi masuk hutan.

Kalau saya lebaran di kampung, saya masih bisa menikmati lemang dengan kuah gulai daging.  Tapi saya hampir tidak lagi mendengar suara meriam bambu.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun