Guru agama kami orang yang sederhana, namun selalu rapi hampir dalam semua hal. Beliau tamatan sekolah guru agama di sebuah kota di Sumatra. Tak sempat masuk perguruan tinggi, apalagi punya gelar akademik seperti para guru-guru zaman sekarang.
Tapi kesederhanaan beliau membuat kami menghormatinya. Salah satu kelebihan guru kami ini adalah Beliau selalu punya cara untuk menerangkan hal sulit dengan cara sederhana. Kalau menerangkan sebuah ayat atau hukum, misalnya, beliau tak mengutip pikiran para ahli dari berbagai negeri yang menulis buku-buku hebat dan tebalnya minta ampun itu.Beliau selalu berangkat dari kasus yang dekat dengan siswa. Jadinya, mudah dipahami.
Suatu siang, kami lagi belajar tentang tafsir Alquran. Udara amat panas dan hawa gerah. Beberapa siswa mulai mengantuk. Pelajaran tafsir bukan pelajar favorit untuk kebanyakan kami. Tapi itulah tantangan bagi seorang guru.
"Ketika masih muda seperti kalian, dada saya selalu berdebar kalau lewat di depan rumah pacar saya", kata Sang Guru memulai pelajaran.Â
"Apakah bapak punya pacar ketika muda?", tanya seorang siswa.
"Jelek-jelek begini, saya menantu idaman lho..tapi aturan agama dan adat di kampung kami amat ketat. Kami tak boleh bertemu apalagi berjalan bersama", kata beliau.
"Jadi bagaimana Bapak menyampaikan isi hati..atau kata-kata cinta?".
"Saya menulis surat dan mengirimkan melalui teman yang menjadi kurir bagi kami berdua".
Kisah masa remaja tentu saja menarik bagi kami. Udar gerah mulai terlupakan. Kantuk juga mulai sirna. Siswa bergairah ingin tahu mendengar kisah masa muda guru kami. Berbagai pertanyaan dan komentar pun terdengar. Riuh suasana lokal pagi itu.
"Suratnya pakai kertas harum gak, Pak?"
"Warna biru atau pink?"