Sejak peristiwa itu, tongkat berukiran ular naga itu di mata kami menjadi naik gengsinya. Kakek terlihat gagah kalau memakai tongkat itu. Kami bangga dengan tongkat hadiah dari Buya Hamka itu untuk Kakek. Begitulah pandangan kami sebagai cucunya.
Tapi kebanggan itu tak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian tongkat itu malah menjadi benda paling menakutkan bagi kami. Sebabnya adalah karena tongkat kebanggan itu kadang dipakai memukul kami, para cucunya, yang bandel.Â
Setiap malam, kami selalu makan bersama di rumah Nenek. Saat makan, Kakek siap dengan sapu lidi, dan juga tongkat berkepala naga. Sapu lidi itu untuk menakuti kucing yang akan mengganggu makan. Sedangkan tongkat kepala naga itu untuk memukul siapa saja yang nasi atau lauknya berserakan saat makan.
Yang paling sering kena tongkat itu adalah yang tertua di antara kami. Kami memanggilnya Uda Man. Kakak sepupu kami ini memang rada sembarangan saat makan. Ia selalu makan dengan tergesa. Di sekitar piringnya banyak remah nasi berserakan. Begitu selesai makan, kakek langsung memukul kakinya dan memerintahkannya dia untuk memberisihkan remah nasi.
Kenapa Kakek begitu marah dengan remah nasi yang terbuang saat makan?
"Butuh waktu enam bulan sebelum nasi itu sampai di piring dan bisa dimakan", kata kakek. Karena itu, tak sebutir nasipun boleh terbuang percuma.
Kakek telah lama meninggal. Begitu juga Buya Hamka, sahabat yang menghadiahi beliau tongkat berkepala naga itu. Di antara kami para cucunya tak tahu di mana tongkat itu sekarang. Padahal ia pernah menjadi benda kebangaan, sekaligus menakutkan bagi kami.
  Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H