“Kenapa Mamak tersenyum?”, tanya saya.
“Yang puasa itu kamu atau pemerintah?” Mamak balik bertanya.
“Tentu saja, saya”
“Nah, kenapa kamu harus menunggu pengumuman dari pemerintah? Kamu pikir yang ditanya di akhirat itu pemerintah kamu?”.
Tak bisa lain, saya memilih diam. “Berapa umurmu sekarang?”, tanya Mamak lagi.
“Lebih tiga puluh”, jawab saya.,
“Sudah segitu usia kamu, untuk beribadah saja masih juga bergantung pada orang lain. Bagaimana kamu bertanggungjawab pada Tuhan kalau begitu?”. Kali ini jadi tercekat.
Kadang kami berbeda masa lebaran juga. Tapi kami semua selalu menghormati beliau sebagai Mamak. Kalau mamak berlebaran lebih lambat sehari atau dua hari, maka kami harus bersabar untuk menunggu duit lebaran. Jumlah duit lebaran, tak tergantung kesamaan mazhab. Tapi tergantung hasil panen. Kalau hasil panen bagus, maka banyaklah duit lebaran. Begitu juga sebaliknya.
Hal lain yang sering menjadi perbedaan adalah jumlah rakaat shalat tarawih. Ada yang memilih sebelas rakaat, tapi ada juga yang dua puluh satu rakaat. Di masjid yang tak jauh dari rumah kami, shalat tarawihnya sebelas rakaat. Orang muda dan anak-anak lebih senang shalat tarawih di masjid karena jamaahnya ramai dan jumlah rakaatnya tidak banyak. Lagi pula, di masjid banyak orang berjualan makanan. Di beberapa surau, salat tarawih diselenggarakan dua puluh satu rakaat. Jamaahnya biasanya orang-orang tua. Jadi kami menyebutnya kaum tua.
Di rumah kami, terdapat dua ‘aliran’ soal jumlah salat tarawih ini. Saya dan adik-adik shalat dan menjadi jamaah masjid. Jadi jumlah salat tarawih kami sebelas rakaat. Kalau kebetulan pulang kampung, adik saya kdang diminta menjadi imam shalat tarawih di masjid. Tapi Buya, orang tua laki-laki kami, menjadi imam di surau kaum beliau yang tarawihnya dua puluh satu rakaat.
Suatu malam, hujan turun deras sekali. Kami tak bisa salat ke masjid atau ke surau. Jadi kami salat tarawih di rumah. Setelah bersiap, Buya bertanya, ‘Siapa yang mau jadi imam?’