Selama kurang lebih dari dua tahun berjalannya pandemi COVID-19 mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Pandemi yang ada juga menghantui dan menyinggung terkait kesejahteraan masyarakat. Wabah penyakit yang bermula dari Wuhan, China ini mulai merambat ke negara lain di dunia, salah satunya adalah Indonesia. Kekhawatiran dan ketakutan menyelimuti negara merah putih, hal ini dikarenakan banyaknya kasus positif yang mengakibatkan kematian hingga diadakannya kebijakan dari pemerintah berupa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Dengan keberadaan PPKM membuat berbagai akses kehidupan dibatasi, salah satunya di bidang ekonomi atau bisnis.
Perputaran keuangan yang dialami oleh Indonesia pada saat pandemi COVID-19 mengalami penurunan tajam. PPKM yang dicanangkan pada 3 hingga 20 Juli 2021 ini memberikan angka penurunan sebesar 0,2 hingga 0,4 persen dari biasanya (Saputra, D., 2021). Ketidakstabilan ekonomi mengakibatkan banyak sektor usaha melakukan segala cara untuk mempertahankan keberadaannya. Banyaknya bisnis yang melakukan PHK pada pekerjanya dan terdapat beberapa mengalami gulung tikar dikarenakan sulit beradaptasi dengan keadaan pandemi. Mengantisipasi hal tersebut dan menjaga kesejahteraan masyarakat, maka diperlukannya inovasi atau gerakan baru. Inovasi yang ada ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai konsumen, serta membaca peluang di masa pandemi. Hal tersebut terlihat dari adanya perubahan sektor usaha, misalnya yang dulunya merupakan jasa jahit busana kebaya menjadi pengrajin masker kain.
Sektor usaha yang dihidupi pastinya mengalami pasang surut. Dalam memperkuat suatu usaha dibutuhkannya komunitas sebagai wadah bertukar informasi, menjalin relasi, dan sebagainya. Berbicara terkait komunitas, terdapat komunitas yang memiliki fokus untuk mengejar suatu keuntungan dan ada yang berorientasi tidak pada keuntungan dalam bentuk keuangan. Komunitas usaha menaungi berbagai macam jenis didalamnya, yang salah satunya terkait kesenian. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar juga memiliki banyak komunitas di dalamnya. Kesenian yang dimiliki oleh Yogyakarta sudah tidak perlu diragukan lagi, mulai dari batik, tarian, dan sebagainya. Komunitas yang menaungi usaha dalam sektor serupa terlihat dari Komunitas FORMEKERS.
Komunitas FORMEKERS merupakan salah satu komunitas yang menaungi sektor usaha atau UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). FORMEKERS berasal dari singkatan Forum Mebel Kerajinan dan Seni, komunitas ini berpusat di Yogyakarta tepatnya pada Jalan KH. Ahmad Dahlan No. 8 Yogyakarta. Komunitas yang lahir dari suatu kecelakaan ini memiliki tujuan untuk memberikan wadah kepada para pelaku usaha tanpa mengharapkan keuntungan secara finansial. Memiliki ketulusan dan sukarelawan dalam setiap sistem kerjanya membuat komunitas ini dipercayai oleh pemerintah, dimana FORMEKERS menjadi tangan kanan dalam penyampaian informasi terkait keutuhan UMKM. Komunitas ini bergerak secara fleksibel dan mengedepankan kekeluargaan.
FORMEKERS memiliki perbedaan dengan komunitas lain yang tidak banyak diketahui. Umumnya setiap komunitas akan mengharapkan atau menantikan bantuan baik dalam segi modal, sarana prasarana, dan sebagainya dari pemerintah, namun FORMEKERS tidak mengharapkan hal tersebut. Memiliki keeratan antar anggota membuat komunitas ini semakin kuat dan saling bahu membahu meningkatkan sektor usaha. Komunitas ini memenuhi kebutuhan anggotanya dengan cara saling sharing baik dalam bentuk informasi, konsultasi, bahan dasar usaha, dan sebagainya. Setiap anggota dan pengurus komunitas ini merupakan para pemilik usaha, hal ini menjadi salah satu kekuatan untuk memperluas relasi.Â
FORMEKERS yang awalnya bergerak dalam sektor offline mulai beralih ke dunia online, hal ini juga merupakan salah satu dampak dari hadirnya pandemi COVID-19. Perubahan sistem operasional komunitas serta usaha dibawahnya dari offline ke online memberikan tantangan tersendiri. Komunitas dengan mayoritas keanggotaan dan pengurus dalam kisaran usia yang tergolong sudah lanjut usia, yakni 40 hingga 65 tahun memiliki keterbatasan dalam menggunakan teknologi. Kemajuan teknologi yang sangat masif terlebih pada masa pandemi ini menghambat beberapa kegiatan dalam komunitas.Â
Untuk mendapatkan mitra usaha guna melanjutkan perputaran bisnis diperlukannya suatu profil yang jelas, hal ini membuat UMKM dalam FORMEKERS harus membentuk portofolio usahanya di media sosial. Namun, dengan keterbatasan dan kesulitan untuk beradaptasi dengan teknologi yang ada membuat pembentukan tersebut memakan waktu lama. Dengan kondisi seperti demikian, para anggota maupun pengurus secara tidak langsung dipaksa untuk melek akan teknologi. Kondisi tersebut mempengaruhi portofolio maupun konten yang dibuat oleh komunitas, dimana hanya tersedia apa adanya atau bahkan dapat dikatakan kurang menarik. Hal tersebut mampu mempengaruhi branding dari komunitas dan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat atau sektor usaha lain yang nantinya akan bekerjasama.
Komunitas yang berhadapan dengan tantangan terbesarnya terkait adaptasi pada teknologi kerap mengalami kebingungan. Pemilahan konten dalam bentuk foto maupun video menjadi salah satu hal yang diperhatikan, dimana FORMEKERS belum terlalu mengantongi bagaimanakah cara memuat konten secara menarik atau aesthetic di media sosialnya. Hal ini terlihat dari adanya unggahan kegiatan komunitas, namun pada setiap unggahan tidak melewati proses editing dan semacamnya melainkan langsung di publish ke masyarakat. Selain itu, dalam komunitas ini hanya memiliki satu orang yang sedikit memahami terkait digitalisasi. Dengan adanya kondisi tersebut membuat timbulnya ketergantungan dari anggota atau pengurus komunitas pada satu orang, hal ini turut mengakibatkan kurang cepatnya update dan penyebaran informasi terkait FORMEKERS.
Keterbatasan dalam mengoperasikan teknologi juga mempengaruhi pada proses menjalin relasi yang terpisah oleh jarak. Dengan proses yang masih beradaptasi dengan teknologi dan digitalisasi, pada tahap awal berpengaruh pada kegiatan pameran. Pareman komunitas yang berisikan produk dagangan UMKM di bawahnya dulunya diadakan secara offline, namun pada masa pandemi terjadi penundaan serta pembatalan kegiatan. Fenomena tersebut terjadi karena belum siapnya beralih dari pameran offline ke online. Tantangan yang dialami komunitas ini juga berpengaruh pada keterlambatan dalam mengetahui informasi dan kebutuhan pasar di era digital serta pandemi, sehingga dengan ini membuat FORMEKERS sulit memahami target pasar.
Pengemasan konten yang baik mampu menarik perhatian dari masyarakat dan memberikan ketenaran bagi komunitas. Muatan konten dari komunitas ini diharapkan mampu menjadi jembatan komunikasi dari pihak komunitas dan masyarakat. Hal ini didasari dengan lima unsur komunikasi oleh Lasswell, yakni (Mulyana, D., 2017: 69): Sumber, pesan, saluran  atau media, penerima, dan efek. Sumber yang digunakan oleh FORMEKERS guna diunggah di media sosialnya berasal dari setiap kegiatannya baik secara offline maupun online. Sumber tersebut berasal dari dokumentasi langsung oleh para anggota dan pengurus komunitas, namun seperti sebelumnya sudah dikatakan bahwa setiap dokumentasi tersebut tidak tersentuh oleh tahapan editing. Unggahan yang dimuat dalam media sosial FORMEKERS pastinya memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas, dengan itu diperlukannya spesifikasi dan keterangan yang jelas agar pesan mampu sampai dengan baik.