Islam dan budaya itu memiliki relasi yang tak terpisahkan, Islam merespon dan membuka diri untuk menerima budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan spirit nash al-Qur'an dan Sunnah. Dalam konteks Islam lokal ada dua macam tipologi. Pertama, kajian Islam Jawa bercorak sinkretisme, yaitu perpaduan dua atau  lebih budaya (Islam, Hindu, Buddha, dan Animisme) menjadi agama Jawa,  kedua,  islam kolaboratif yang menggambarkan hubungan antara islam dengan budaya lokal. Tradisi islam lokal pesisiran sering diposisikan bersebrangan dengan gerakan pembaharuan keagamaan, tradisi masyarakat pesisir dalam hal keagamaan seperti melakukan upacara yang mereka lakukan untuk membawa keselamatan dan berkah bagi warganya, sehingga dapat menghasilkan dialektika sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi yang dianut masyarakat setempat dan menimbulkan pola-pola serta simbol kehidupan yang mengatur warganya tersebut. Simbol suci di dalam agama tersebut biasanya mengejawentah di dalam tradisi masyarakatnya yang sering juga disebut tradisi keagamaan, setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang membuat orang melakukan tindakan untuk mengeluarkan keyakinan dalam bentuk ritual dan penghormatan. Misalnya saja dalam  hal upacara yang sering dilibatkan dalam ritual keagamaan.
Seiring dengan perkembangan zaman terjadilah perubahan konstruksi sosial terkait tradisi lokal dengan menggabungkan islam yang didakwahkan oleh Walisongo dengan unsur-unsur kebudayaan setempat terjadilah tradisi islam lokal. Dalam perkembangan masyarakat pesisir yang notabene merupakan tempat pertama kali penyebaran islam dilakukan, karena merupakan  daerah persinggahan dagang , masyarakatnya kebanyakan belum mengenal agama islam, namun tradisi-tradisi masyarakat setempat sudah ada kemudian islam masuk disebarkan oleh walisongo melalui kebudayaan menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, seperti praktek meyakini iman dalam ajaran islam, akan tetapi masih juga mempercayai berbagai macam keyakinan. Setiap kali suatu agama datang pada suatu daerah, agar ajaran agama tersebut dapat diterima oleh masyarakat secara baik, penyampaian ajarannya harus bersifat "membumi." Artinya, ajaran agama tersebut harus menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, yang tidak bertentangan dengan ajaran substantif agama tersebut. Misalnya saja islam jawa yang mudah diterima oleh masyarakat setempat karena pendakwahnya menyampaikan Islam secara harmonis, yakni mengambil tradisi yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam, sehingga masyarakat merasa dengan senang hati menerima Islam menjadi agamanya. Persoalan hubungan tradisi islam lokal sebagai pengamalan keagamaan juga memberikan toleransi sedemikian rupa terhadap praktik-praktik keyakinan setempat. Hubungan tradisi lokal dan Islam menghadirkan dua kelompok yang saling berseberangan yaitu antara kelompok Islam Normatif dan Islam Aktual. Islam normatif menganggap tradisi adalah bentuk kesesatan karena ajarannya tidak tercantum dalam Al-Qur`an atau Hadits. Sementara dalam pandangan Islam aktual tradisi lokal dapat diterima dan dianggap sebagai Islam Jawa yang berbeda dengan Islam di tempat lain. Dalam konteks realita sosial, konstruksi sosial dapat digunakan untuk melihat bagaimana proses perkembangan berbagai kegiatan ritual di dalam masyarakat terjadi, misalnya saja ada upacara keagamaan itulah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal didalam konteks sosio-religi kultural sehingga terdapat perbedaan dalam masyarakat itu maka akan terdapat pula kemungkinan terjadinya variasi dalam melakukan upacaranya, contohnya saja upacara Grebeg Maulud yang mengaitkan unsur tradisi kebudayaan warga lokal dengan nilai-nilai islam didalamnya.
Jadi adanya konstruksi budaya islam yang telah mengalami perubahan ruang dan perkembangan zaman dapat menyebabkan akulturasi  dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika islam bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda maka ajaran tauhidnya saja yang sama tetapi ekspresi kebudayaan dalam bentuk tradisi misalnya cara berpakaian islam di Indonesia yang berbeda dengan Islam di Arab, bentuk bangunan masjid, sastra dan lainnya memiliki nilai-nilai lokal yang tidak selalu sama antar daerah. Dapat disimpulkan bahwa lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak banyak. Islam memang datang ke suatu wilayah yang tidak hampa budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.
Referensi
Abidin, Zaenal. 2009. Islam dan Tradisi Lokal Dalam Perspektif Multikulturalisme. Jurnal Millah Vol.8 , N0. 2, Februari 2009. Fakultas Ushuluddin : IAIN Antasari Banjarmasin
Mahfud.2018. Tradisi Rasol dalam Perspektif Islam (Studi Etnografis Tentang Kearifan Budaya  Lokal Masyarakat Buloar Bawean). Jurnal Penelitian Ilmiah Intaj Vol.02 No.01 : 01 - 44
Syam, Nur.2003.TRADISI ISLAM LOKAL PESISIRAN ( Studi Konstruksi Sosial Upacara Pada   Masyarakat Pesisir Palang, Tuban , Jawa Timur). Disertasi Program Studi Ilmu Sosial:  Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H