Mohon tunggu...
Ivan Tahir Hehanussa
Ivan Tahir Hehanussa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

menulis media cetak & online

Selanjutnya

Tutup

KKN

Pudarnya Intelektual Mahasiswa

30 Desember 2015   08:32 Diperbarui: 4 Juni 2024   00:49 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat pelbagai akses kemudahan itu ternyata tak berbanding lurus dengan produktivitas kalangan akademisi di lapangan, sebab berdasarkan pengamatan kemenristek hanya 10% hasil penelitian yang terealisasikan. (kompas 2/12/2014). Besarnya rayuan hidup instan-pragmatis dan emoh bersusah-susah dengan proses bias ditunjuk sebagai salah satu penyebab persoalan di atas, oleh karena itu, tak begitu mengagetkan bila warna dominan yang marak dijumpai di altar PT kita ialah akademisi-akademisi yang “dugem politisi” atau “politisi yang nyambi sebagai akademisi” padahal jelas, ranah akademik adalah dua entitas yang tentu berlainan.

Namun, bukan berarti ranah politik haram hukumnya dimasuki oleh akdemisi. Bukankah tokoh-tokoh intelektual garda depan negeri inisemisal Agusalim,Hatta, Natsir dan Bung Syahrir menyebut beberapa nama merupakan pemimpin partai politik. Hanya saja disini perlu dibubuhi catatan tambahan, upaya merambah dunia politik praktis itu tak lantas membuat para akademisi seolah tiada cacat-cela menumbalkan tanggungjawab disiplin keilmuannya.

Tanda-tanda loyonya vitalitas intelektual pun ternyata turut merembes dalam sendi-sendi kehidupan mahasiswa, memang ramai kita saksikan riuhnya para mahasiswa yang rajin menggelar aksi tikar jalanan menentang perilaku amoral para pejabat, tapi hampir tak pernah kita mendengar teriakan protes mahasiswa dikarenakan keadaan perpustakaan yang begitu menyedihkan,namun hal itu dapat dimaklumi, mengingat budaya sebagian mahasiswa telah bergeser, bukan lagi budaya buku dan baca, melainkan budaya bibir dan bicara. Sementara tak jarang kita pergoki mahasiswa seolah tiada rikuh memercayakan peluh, maka tak mengherankan bila hasil penelitian berupa skripsi, tesis atau semacamnya hanya sekedar sebagai hiasan yang memenuhi sudut-sudut perpustakaan yang tak tersentuh dan terlupakan.

Jika melirik mahasiswa kita saat ini, boleh dibilang ini adalah fenomena “kewibawaan ilmiah yang tunduk” dari akar tradisi PT tersebut, terlalu berlebihan bila peran PT dipandang hanya sekedar tempat “produksi ijazah” yang membidangi lahirnya sarjana-sarjana instan-karbitan. Tak hanya itu, segelintir akademisi yang masih mencoba berjalan sesuai rel idealismenya pun terkadang tidak memperoleh ruang dan siap-siap dikeranjangkan sebagai “manusia asing” berjenis lain, sebab itu kita tentu tak bisa terlalu banyak berharap akan lahirnya cendikiawan-cendikiawan besar yang bertindak sebagai penyeimbang gerak arus sejarah kemanusiaan ditengah bisingnya roda kemajuan zaman.

Akhirnya terlalu banyak sisi-sisi cerah lain dari perjalanan PT kita yang mungkin luput ditelisik. Terlepas dari itu semua, selain patut untuk membenahi iklim akademisi dari kesan tertutup, fanatik, pasif, dan serba formalistik, ada baiknya kita patut merenungkan kembali petuah almarhum Sartono Kartodirdjo ihwal laku hidup “asketisme intelektual” memandang kiprah ilmiah-intlektual sebagai aktifitas spritul yang senantiasa dinafasi nilai-nilai kejujuran, ketabahan dan ketuntasan. Karena itu, barangkali perlu dihidupkan kembali mengingat kian memudarnya tradisi ilmiah intelektual perguruan tinggi saat ini.

 

Pudarnya Budaya Intelektual Mahasiswa, mungkin itu ungkapan yang pantas kita ungkapkan, karena hamper sudah tidak ada lagi peran mahasiswa di kampus saat ini yang patut kita acungkan jempol, ada memang sebagian kecil diantara mahasiswa kita, namun seperti yang telah kita bahas sebelumnya, mereka sengaja dikandangkan dan diasingkan bak manusia asing. Mungkinkah orientasi mahasiswa baru tidak lagi berjalan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang menyentuh sendi intelektual kita? Bias saja iya, karena mahasiswa baru hanya disuguhi alunan lagu tak berirama. Panggung orientasi hanya sebatas mencari sensasi dan pengenalan pejabat kampus. Orientasi juga hanya sebatas menjalankan ritual perguruan tinggi, namun tidak melaksanakan tujuan orientasi itu sendiri.

Sejarah mencatat peranan mahasiswa dalam fungsinya sebagai agen of change (agen perubahan) dan social control (kontrol sosial), kini telah berbeda. Realitasnya mahasiswa saat ini yang memilih atau diarahkan kepada sikap apatis. Kondisi kampus saat ini, mahasiswa seolah-olah kehilangan roh untuk menjaga sikap kritis, kebenaran, dan rasio. Inilah babak baru dari persoalan kita, mahasiswa diarahkan pola pikirnya kearah pragmatis yang kemudian memudarkan budaya sadar dalam berintelektual. Logika mahasiswa yang sebelumnya beorientasi kearah “perjuangan dan intelektual” justru memiliki kecenderungan sikap “pertukangan dan politik” (hummm..politik tai kucing) mahasiswa kini rela dipekerjakan tanpa harus berpikir kritis. Dalam pemahaman ini, perguruan tinggi memegang peranan sebagai pemasok suku cadang “siap pakai” untuk memermudah roda ekonomi. Mahasiswa diarahkan kepada orientasi koognitif dan teknis belaka, tanpa mempertimbangan aspek sosial-kemanusiaaan.

Mimbar bebas, itulah Kampus yang sebenarnya, namun pada kenyataanya kampus bukan lagi mimbar bebas, tetapi kampus kini menjadi “KAMPUNG PUSAKA”, artinya semua orang memiliki hak yang sama untuk masuk, namun mahasiswa dikekang dengan aturan yang melilit seperti tambang jangkar kapal, boleh dipakai,tapai hanya sebatas penguat kepentingan elit politik. Lihat saja berbagai aturan dikeluarkan pemerintah,mulai dari aturan OSPEK, hingga aturan yang membatasi mahasiswa melakukan protes (katanya demokrasi dan mimbar bebas, kenapa kita dikekang). OSPEK merupakan salah satu wadah dari sekian banyak wadah mahasiswa yang digunakan untuk membentuk karakter dan pola piker mahasiswa, namun OSPEK kini hanya sekedar mitos belaka, atauka kenangan masa lalu.

Kita juga perlu melirik sepintas soal Organisasi Kepemuadaan (OKP), dimana OKP merupakan tambak intelektual para cendekiawan muda bangsa, karena OKP merupakan termpat bernaungnya orang-orang pilihan yang kemudian dibentuk menjadi manusia yang memiliki kapasita keilmuan, kemampuan mengola sumberdaya, kekuatan untuk berbuat dan intelektual untuk melakoni hidup dalam berkehidupan bangsa. Namun OKP kini hanya menjadi kapal ikan yang hanya sekedar menangkap dan menjebak generasi muda untuk memenuhi hasrat OKP. OKP bukan lagi sebagai Organisasi Kepemudaan, tetapi OKP kini telah beralih fungsi menjadi “Orgnisasi Kader Politik”, banyak diantara kita yang pada akhirnya terjebak dalam kelompok elit organisasi yang kini berkamuflase menjadi politikus.

Benarkah OKP tidak melakukan manufer politik? Benarkah OKP tidak melakukan parade politik bertopeng intelektual?. Mungkin tidak asing lagi dan sudah tidak menjadi rahasia public, banyak konglomerat OKP yang datang silih berganti, masuk dan keluar pintu kantor pejabat untuk berjabatangan dan melakukan diel dengan para pejabat itu. Sungguh percaya atau tidak, dintarajabatan tangan itu pasti terjadinya tukar amplop dan idealisme intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun