Hal itu didasarkan pada orang yang menguasai kekayaan itu bukan pada orang yang memiliki sebenarnya, yaitu tidak sesuai dengan ketentuan "milik penuh" yang disepakati  semua ahli fiqih. Dan itu pulalah barangkali sebabnya zakat wajib atas yang meminjam itu sebagai pengimbang tindakannya mengulur-ulurkan membayar hutangnya.
Tetapi mayoritas (Jumhur) ahli fiqkih semenjak masa sahabat sampai kepada seterusnya, berpendapat bahwa pinjaman itu dua macam :
1) Pinjaman yang diharapkan kembali, yaitu pinjaman yang jelas dari orang yang berkucupan. Dalam hal ini zakatnya dimajukan bersama dengannya kekayaannya yang ada setiap tahun. Yang meriwayatkan demikian adalah Abu Ubaid dari Umar, Usman, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah dari pihak sahabat, dan dikuatkan oleh Jabir bin Zaid, Mujahid, Ibrahim, dan Maimun bin Mahran dari pihak tabi'in.
Â
2) Pinjaman yang tidak diharapkan kembali lagi, yaitu pinjaman dari orang yang tidak berkecukupan yang tidak akan mungkin membayarnya kembali atau pinjaman dari seorang yang tidak mengakui hutangnya sedangkan pemilik tidak mempunyai bukti apapun. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
Â
A. Orang itu mengeluarkan zakatnya untuk selama tahun-tahun kekayaan di tangannya. Ini adalah pendapat Ali dan Ibnu Abbas.
B. Ia mengeluarkan zakatnya untuk setahun saja, dan ini adalah pendapat Hasan, dan Umar bin Abdul Aziz yang merupakan pendapat Imam Malik tentang semua jenis hutang: diharapkan kembali atau tidak.
C. Ia tidak mengeluarkan zakatnya baik untuk bertahun-tahun maupun untuk setahun saja. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan kawan-kawannya. Kekayaan itu bagi mereka sama dengan kekayaan yang baru mulai digunakan oleh pemiliknya pada tahun itu.
Demikianlah Imam Abu Ubaid, dalam hal piutang masih bisa diharapkan kembali, lebih senang memakai hadis-hadis positif yang disebutkannya bersumber dari Umar, Usman, Jabir, dan Ibnu Umar, yaitu bahwa ia mengeluarkan zakatnya setiap tahunnya bersamaan dengan kekayaannya yang konkret berada di tangannya, apabila piutangnya itu berada di tangan orang-orang yang berada. Hal itu oleh karena status piutang itu sama dengan status kekayaan yang ada di tangannya  atau di dalam rumahnya.
Abu Ubaid memandang boleh hukumnya menangguhkan pembayaran zakat piutang sampai berada kembali ditangan pemiliknya. Bila orang itu sudah menerima sedikit saja, maka orang itu harus mengeluarkan zakatnya untuk masanya yang lewat, apabila hal itu mengakibatkan pemborosan.Â
Tetapi apabila piutang itu tidak ada harapan untuk kembali atau di anggap tidak ada harapan untuk kembali, maka ia lebih setuju memperlakukannya berdasarkan pendapat Ali dan Ibnu Abbas yaitu bahwa zakat yang dibayar di muka itu tidaklah ada. Bila ia sudah menerimanya sebagai zakat dari selama tahun-tahun yang dilewati dan menegaskan bahwa kekayaan itu adalah miliknya, maka tidaklah mungkin hak Allah hilang dari kekayaan itu sedangkan pemilikannya tetap berada pada tangannya.
Terdapat pula pendapat Abu Hanifah dan kawan-kawannya tentang piutang yang tidak mungkin diharapkan kembali lagi itu dan tentang kekayaan "yang belum konkrit" pada umumnya, yaitu semua kekayaan yang tidak bisa dimanfaatkan, oleh karena kekayaan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya, maka pemiliknya itu tidaklah dapat dikatakan seorang kaya, sedangkan zakat hanya diwajibkan kepada orang kaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H