Dengan kecantikanmu engkau lebih elok daripada matahari. Dengan akhlakmu engkau lebih wangi daripada harum minyak misik. Dengan rendah hatimu engkau lebih tinggi daripada bulan dan dengan kelembutanmu engkau lebih halus daripada rintik hujan. Maka jagalah kecantikan itu dengan keimanan. Kerelaanmu dengan rasa puas diri. Dan harga dirimu dengan jilbab. (menjadi wanita yang paling bahagia)
Andin meneteskan air mata ketika membaca sepenggal kalimat dalam buku pemberian Mazaaya,perempuan yang ia temui di dekat musholla. Entah kenapa ia seperti terperangkap dalam lingkaran putih yang sedari dulu ia rindukan. Berada di sebuah lingkungan yang memang tak asing baginya tapi sudah lama ia tinggalkan. Lamat - lamat ia mendengar lantunan ayat - ayat suci dari beberapa pasang mata. Gurauan anak - anak kecil dalam suasana kegembiraan menyambut datangnya Maza'aya yang akan mengajar mereka mengaji. Andin seperti mengingat kembali memori yang sengaja ia lupakan, bahwa ia pernah seperti itu, menjadi guru mengaji ketika masih di kampung.
Kini ia adalah seorang siswa salah satu sekolah menengah atas negeri ternama di kota Surabaya. Dulu ia adalah siswa terpandai sewaktu smp di sebuah kecamatan di madiun. Lalu ia memutuskan untuk mengikuti seleksi masuk sekolah favorit di Surabaya dengan berbekal beasiswa. Beruntungnya pula ia salah satu anak keluarga mampu di kampungnya jadi apa pun yang menyangkut pendidikan keluarganya selalu mendukung. Dari biaya sampai fasilitas semua tersedia, tentunya masih dalam kadar keluarga mampu tingkat kampung. Keluarganya sangat agamis.
Awalnya orang tua tak mendukung niatnya melanjutkan sma di Surabaya karena mereka tahu pergaulan anak kota yang terlampau bebas seperti apa dan karena usia Andin yang terlampau masih muda beda seandainya ia saat kuliah nanti, tapi Andin tetap bisa meluluhkan hati orang tuanya dengan bekal kepercayaan. "Din, opo ora wektu kuliah ae nang suroboyo kuwi", bujuk ibunya dengan bahasa khas jawa." Inggih ibu, tapi kalau misalnya Andin langsung bisa sma di sana ntar mau masuk kuliah kedokterannya mudah", ucap Andin dengan gaya persuasifnya. Sampai pada akhirnya keinginan untuk menuntut ilmu di kota bisa terwujud.
Andin ternyata tidak berhasil menjaga kepercayaan orang tuanya. Ia terlena akan modernitas pergaulan anak kota. Ia sekarang bergaul dengan kaum borjuis yang suka bergaya hedonisme sampai ia rela menanggalkan kerudungnya dan ironisnya ia pakai kembali ketika waktu pulang tiba lalu melepasnya lagi ketika menghirup udara kota. Klub - klub malam sudah tak asing lagi baginya. Uang dari orang tuanya ia hamburkan bgitu saja untuk kesenangan. Ia berbohong kalau jatah beasiswanya sudah habis masa waktunya padahal jatahnya sampai ia lulus sehingga ia rutin meminta uang kepada orang tuanya tiap bulan. Ia tersontak,kakinya tak dapat dibuat untuk berdiri. Air matanya terurai deras di parasnya yang ayu. Hati kecilnya berkata, Aku ingin kembali menjadi Andin yang dulu.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H