Mohon tunggu...
Iva Sabrina
Iva Sabrina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum (I think, therefore I am) – Descrates, 1637

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah Sineas-sineas Muda Indonesia yang Mencuri Perhatian Dunia

7 Oktober 2016   11:21 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:16 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mo Brothers (36). Foto: getscoop.com

Wregas Bhanuteja

Wregas Bhanuteja (23). Foto: beritagar.id
Wregas Bhanuteja (23). Foto: beritagar.id
Wregas Bhanuteja adalah nama paling anyar yang harus masuk daftar ini. Bagaimana tidak, di usianya yang ke-22 Wregas telah membuat juri di Festival Cannes terkesan atas karyanya yang fenomenal, Prenjak (2016). Film berdurasi 13 menit dengan budget sekitar 3 juta rupiah ini meraih predikat sebagai film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016, Cannes.

Prenjak memenangkan Le Prix Découverte Leica Cine untuk film pendek terbaik yang dipilih dari 10 film yang diputar dalam kompetisi. Kesepuluh finalis ini disaring dari 1500-an film pendek yang dikirim ke panitia festival!

Sebelumnya, nama Wregas telah muncul di khazanah perfilman dunia dalam ajang 65th Berlin International Film Festival, Berlinale 2015 dan 39th Hong Kong International Film Festival 2015 lewat karya yang sama berjudul Lembusura. Meski tak mendapat penghargaan, pengalaman ini telah menempa Wregas untuk makin serius dalam berkarya.

Sejak bangku sekolah, Wregas memang telah akrab dengan sinema. Film pertama Wregas dibuatnya ketika ia masih duduk di bangku SMA di Yogyakarta. Kelak setelah menempuh studi di Institut Kesenian Jakarta, ia masih setia dengan akarnya: Yogyakarta. Ini terlihat jelas di beberapa karyanya, dari mulai Lemantun (2012) Lembusura (2014), hingga Prenjak, setting hingga semua dialognya menggunakan bahasa Jawa. Hanya karya awalnya yang berjudul Senyawa (2012) yang masih bercita rasa 'Jakarta'.

Film berjudul Lemantun bahkan terinspirasi dari cerita keluarganya sendiri yang membahas soal warisan berupa lemari (Lemantun adalah bahasa Jawa halus untuk lemari). Ceritanya unik namun dituturkan dengan sederhana tanpa berusaha keras menjadi artistik. Sungguh sebuah sajian narasi yang menarik.

Mungkin di sinilah salah satu keistimewaan Wregas. Ia memiliki akar yang kuat menancap. Di mana pun ia berada, Wregas tetap mengusung jatidirinya tanpa harus terjebak hal-hal klise ala modernitas dunia kontemporer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun