Mohon tunggu...
Iva Sabrina
Iva Sabrina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum (I think, therefore I am) – Descrates, 1637

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah Sineas-sineas Muda Indonesia yang Mencuri Perhatian Dunia

7 Oktober 2016   11:21 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:16 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wregas Bhanuteja (23). Foto: beritagar.id

Film sebagai salah satu medium seni paling universal tampaknya memang belum menjadi sarana optimal dalam mengungkap jati diri kita. Sampai dengan hari ini, arus utama sinema Indonesia masih dihiasi oleh karya-karya superfisial yang lebih mengedepankan unsur hiburan dengan ditaburi bintang-bintang layar bermodalkan paras elok dan rupawan semata. Kualitas teknik dan eksplorasi tema cerita masih kerap menjadi perhatian nomor sekian.

Akan tetapi, selalu saja ada nama-nama yang bergerak di luar arus utama. Mereka lebih nyaman menempuh jalur alternatif yang mungkin tak seramai jalur utama, namun bukan berarti mereka dapat diabaikan begitu saja. Bahkan, sorotan perhatian datang dari pihak-pihak luar yang memandang karya mereka sebagai gerbang dalam memahami entitas mahapelik bernama Indonesia.

Mereka inilah sineas muda (belum ada yang menyentuh 40 tahun) sekaligus sosok pembaharu dalam sinema Indonesia. Mereka layak disebut sebagai pembaharu karena menawarkan sudut pandang dan cara pendekatan lain terhadap tema-tema kehidupan yang dituturkan melalui bahasa gambar-gerak dan suara. Di rumah sendiri, nama-nama mereka mungkin jarang mengisi tajuk utama berita. Tapi nun jauh di sana, nama mereka telah melanglang buana. Di antara nama-nama tersebut adalah:

Edwin

Edwin (38). Foto: hollywoodreporter.com
Edwin (38). Foto: hollywoodreporter.com
Edwin (nama yang dipakai memang satu kata ini saja) mulai menghentak pecinta sinema pada tahun 2005 melalui karyanya yang cukup mengejutkan: Kara, Anak Sebatang Pohon. Film pendek berdurasi sekitar 10 menit ini selain mempunyai judul yang cerdik (sebuah wordplay dari 'Anak Sebatang Kara') juga mengusung tema serta gaya penuturan narasi yang tidak lazim menurut standar perfilman kita.

Serat utama cerita Kara, Anak Sebatang Pohon adalah upaya pemenuhan balas dendam seorang bocah (Kara) kepada pembunuh ibunya, yaitu... Ronald McDonald, maskot franchise makanan cepat saji McDonald's yang tersohor itu. Di balik cerita nyentriknya ini, bercokol sebuah narasi menggelitik tentang relasi kita dengan kapitalisme.

Kara, Anak Sebatang Pohon menjadi film pendek Indonesia pertama yang diputar di Directors’ Fortnight di Festival Film Cannes, Perancis.

Seleksi penayangan film di Cannes yang superketat, dengan audiens serta juri berkelas internasional, menjadikan ajang tahunan ini disebut-sebut sebagai festival film paling bergengsi di dunia.

Berbeda dengan Academy Award (Oscar) yang semata-mata sebuah malam penghargaan dan terlalu Amerika-sentris, Cannes adalah sebuah festival yang juga menayangkan, mendiskusikan, dan memberikan penghargaan kepada film/insan aneka bangsa yang terlibat di dalamnya. Banyak sineas bereputasi internasional menjadikan Cannes sebagai tempat tayang perdana karya mereka.

Bagi sineas muda, ketika filmnya dapat lolos seleksi dan ditayangkan di Cannes saja sudah menjadi sebuah pencapaian tersendiri. Perhatian dan ekspos yang didapat atas sebuah karya di festival inilah yang menjadi impian sineas muda seluruh penjuru dunia. Edwin, yang kala itu masih berusia 27 tahun telah mendapat kehormatan itu.

Film panjang pertama Edwin berjudul Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) juga mendapat respons positif dari khalayak internasional. Edwin terlihat kerap menggunakan simbol-simbol dalam film ini, terutama sebagai medium untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait identitas sosial. Film yang dibintangi oleh Ladya Cherryl dan Pong Hardjatmo ini diganjar FIPRESCI Prize in Rotterdam (Belanda) di tahun yang sama.

Pengakuan dalam skala regional kepada Edwin didapat ketika ia menjadi salah satu bagian dari proyek Jeonju International Film Festival (JIFF), Korea Selatan. Proyek pembuatan omnibus (rangkaian beberapa film dijadikan satu) bertajuk Digital Project ini menunjuk Edwin (Indonesia), Kobayashi Masahiro (Jepang), dan Zhang Lu (Korea Selatan).

Judul karya yang dipilih Edwin lagi-lagi bermain dengan kata-kata: Someone’s Wife on a Boat of Someone’s Husband. Film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Mariana Renata dan rilis tahun 2013 ini mengisahkan seorang perempuan yang pergi ke laut guna menghindari keluarganya.

Yosep Anggi Noen

Yosep Anggi Noen mulai mendapat perhatian khalayak sinema internasional ketika ia merilis karyanya yang unik, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012). Film yang mengangkat tema sosial ekonomi dengan latar belakang budaya dan psikologi Jawa ini mendapat pengakuan dari audiens global setelah berkeliling ke 24 festival film internasional, antara lain Locarno, Rotterdam, Busan, Hong Kong, Mumbai, dan lainnya. Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya juga mendapat Special Mention Award di perhelatan Vancouver International Film Festival 2013.

Proses pembuatan film Vakansi ini mendapat dukungan dari Departemen Pendidikan Nasional untuk biaya produksi dan pembiayaan dari Swiss Agency for Development and Cooperation dan Hubert Bals Fund untuk pasca-produksi. Pengakuan dari dalam negeri akhirnya didapat setelah Yosep Anggi Noen meraih penghargaan sebagai Sutradara Perdana Film Cerita Terbaik pada ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2013.

Karya Anggi Noen lain, A Lady Caddy Who Never Saw A Hole in One menyabet penghargaan tertinggi Grand Prix sebagai film pendek terbaik di ajang ShortShorts Film Festival and Asia 2014 di Tokyo, Jepang. Film ini bertutur tentang isu agraria dengan cara yang unik, menampilkan seorang lady caddy yang bercakap-cakap dengan seorang pria di tengah sawah, seolah mereka tengah berada di lapangan golf.

Di tahun 2015, Anggi Noen merilis film Kisah Cinta yang Asu yang berhasil masuk program Wide Angle di Busan International Film Festival 2015.

Kabar terbaru, lelaki kelahiran Yogyakarta, 1983 ini telah merampungkan film biopic (biography picture) Wiji Thukul (penyair-aktivis asal Solo yang raib ketika huru-hara 1998) di tahun 2016 ini. Film berjudul Istirahatlah Kata-Kata (judul internasional: Solo, Solitude) ini telah tayang perdana di Locarno International Film Festival ke-69, Swiss pada Agustus lalu.

BW Purba Negara

BW Purba Negara (33). Foto: pamityang2an.com
BW Purba Negara (33). Foto: pamityang2an.com
BW Purba Negara merupakan teman sekelas SMA Yosep Anggi Noen. BW Purba juga terlibat dalam beberapa produksi film bersama Anggi Noen. Namanya pertama kali mencuri perhatian ketika filmnya yang berjudul Cheng Cheng Po menyabet Piala Citra untuk kategori film pendek di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2008.

Tahun berikutnya, BW Purba masuk radar internasional lewat film Musafir yang didaulat menjadi Official Selection Berlinale Short, Festival Film Internasional Berlin 2009. Festival Film Internasional Berlin (kerap disingkat menjadi Berlinale) disebut-sebut sebagai festival film awal tahun paling bergengsi di dunia.

Tidak kalah dengan Cannes yang diselenggarakan pada musim panas, Berlinale ini merupakan ajang para kritikus, sineas, dan masyarakat film dalam merayakan sinema. Tidak banyak film Indonesia yang berhasil lolos seleksi, ditayangkan, dan berkompetisi di Berlinale. Standar yang tinggi dari panitia menuntut sebuah karya yang ditampilkan di Berlinale harus memenuhi berbagai aspek teknis maupun non-teknis seperti koherensi cerita dengan akar budaya dan ruh zamannya.

BW Purba kembali menjadi sorotan ketika ia merilis film berjudul Bermula Dari A (2011). Ringkasnya, film ini berkisah tentang dua orang berbeda secara gender sekaligus difabel yang mencoba melakukan interaksi dan komunikasi guna saling melengkapi satu sama lain. Di ranah domestik, mulanya film ini mendapat apresiasi terbatas dan tampil sebagai pemenang di Festival Film Solo 2011. Selanjutnya, Bermula Dari A berkeliling dunia.

Pengakuan global perdana Bermula Dari A adalah penghargaan best short film award pada ajang Vladivostok International film festival 2012 di Rusia. Selanjutnya Bermula Dari A berjaya di 2nd Hanoi International Film Festival dengan memenangkan kategori best short film. Bermula Dari A 'pulang kampung' sebagai pemenang piala citra untuk kategori film pendek terbaik Festival Film Indonesia 2013.

Film ini juga telah berkeliling ke berbagai festival penting di dunia di antaranya Clermont-Ferrand International Short Film Festival di Prancis, Hong Kong International Fim Festival, Tampere International Fim Festival di Finlandia, Sedicicorto International Film Festival di Italia, Gulf Film Festival di Dubai, Busan International Film Festival di Korea Selatan, dan sejumlah festival yang lainnya.

Di tahun 2016, film dokumenter karya BW Purba berjudul Digdaya Ing Bebaya (Of the Dancing Leaves) berhasil memenangkan penghargaan Silver Award pada ajang Vidsee Juree Awards 2016. Viddsee Juree Awards adalah kompetisi untuk merayakan film pendek Asia dari berbagai genre; fiksi, dokumenter serta animasi. Film ini merupakan gambaran ketangguhan warga lereng selatan Gunung Merapi dengan memotret kehidupan 3 lansia penghuni Desa Glagaharjo, salah satu desa yang terkena dampak hebat letusan Merapi.

Proyek terbaru BW Purba adalah film panjang berjudul Ziarah yang diproduksi secara independen bersama tim kerja yang kesemuanya merupakan filmmaker Yogyakarta.

Menurut Lidia Nofiani (Publicist film Ziarah), Ziarah adalah film cinta dengan sudut pandang yang tidak biasa. Tokoh utama film ini diperankan oleh Mbah Ponco Sutiyem, seorang wanita berusia 95 tahun asal kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Barangkali Mbah Ponco ini adalah aktor paling tua yang bermain sebagai tokoh utama dalam film Indonesia. Film ini mengambil lokasi pengambilan gambar di Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, Klaten, dan Boyolali. Rencananya film ini akan dirilis secara nasional pada akhir tahun 2016.

Mouly Surya

Mouly Surya (36). Foto: trivia.id
Mouly Surya (36). Foto: trivia.id
Mouly Surya, perempuan kelahiran 1980 ini meraih Piala Citra sebagai sutradara terbaik lewat film "Fiksi.", sedangkan karyanya yang berjudul "What They Don't Talk About When They Talk About Love" berkompetisi pada Festival Film Internasional Sundance 2013.

Kedua film ini cukup unik, baik secara tema maupun eksekusi cerita. Fiksi. (judulnya memang diakhiri dengan tanda titik) berkisah seputar rumah susun dengan penghuninya dilihat dari sudut pandang seorang perempuan psikopat yang penuh dengan fantasi. Fiksi. berhasil masuk seleksi Busan International Film Festival 2008 (Korea Selatan) dan World Film Festival of Bangkok 2008 (Thaland).

What They Don't Talk About When They Talk About Love dibintangi Nicholas Saputra, Ayushita, dan Karina Salim.

What They Don't.. berhasil meraih "NETPAC Award" International Film Festival Rotterdam 2013 (Belanda). Film ini juga telah rilis di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Hongkong, Ceko, Polandia, Filipina dan Prancis.

Proyek terbaru Mouly adalah Marlina The Murderer in Four Acts yang telah ditayangkan di Festival Cannes Perancis dalam sesi Cinefondation L’Atelier, sebuah event project market bagian dari Cannes Film Festival pada 11-22 Mei 2016. Mouly Surya adalah satu-satunya sineas yang terpilih dari Asia Tenggara tahun ini. L’Atelier hanya memilih 15 proyek film yang menjanjikan dari seluruh dunia setiap tahunnya.

Marlina The Murderer in Four Acts sebelumnya masuk seleksi Asian Project Market (APM) di Busan International Film Festival 2015, dan telah terpilih sebagai salah satu penerima Next Masters Support Program dari ajang Talents Tokyo 2015.

Mo Brothers

Mo Brothers (36). Foto: getscoop.com
Mo Brothers (36). Foto: getscoop.com
Mungkin inilah nama paling komersial di daftar ini. Mo Brothers adalah Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel. Keduanya bukanlah adik-kakak alias tanpa ada hubungan darah. Mo Brothers dapat disebut pembaharu karena mereka membuat formula lama menjadi terasa lebih segar. Baku hantam, muncratan darah, desing peluru, dentuman ledakan, dan sejenisnya bukanlah hal baru dalam sinema kita. Namun penyempurnaan aspek teknis dan narasi cerita yang lebih rapi menjadi daya tarik utamanya.

Mo Brothers mulai diperhitungkan setelah merampungkan film Rumah Dara pada tahun 2008 dan baru dirilis secara luas pada 2010. Sadis, brutal, dan tanpa banyak basa-basi. Mungkin inilah awal ketertarikan para penonton utamanya genre horor dan gore terhadap karya mereka. Rumah Dara telah diputar di berbagai festival film internasional. Distribusi film ini sampai ke Amerika Utara dan Eropa.

Rumah Dara berhasil memenangi beberapa festival film horor/gore di luar negeri antara lain: LA Screamfest Horror Film Festival (AS), International Horror and Sci Fi Film Festival of Phoenix, Arizona (AS), Freakshow Film Festival of Orlando, Florida (AS), NYC Horror Film Festival (AS), Horrothon Film Festival of Dublin (Irlandia).

Menyusul karya selanjutnya adalah Killers (2014) yang lolos seleksi penayangan di Sundance Film Festival, Utah 2014. Produksi film ini dilakukan di dua negara, yaitu Indonesia dan Jepang. Para pemeran yang terlibat juga berasal dari kedua negara tersebut dengan bintang utama Oka Antara, Luna Maya, Kazuki Kitamura, Rin Takanashi.

Killers berkisah tentang dua pembunuh berantai bertopeng, seorang dari Jepang dan satu lagi dari Indonesia yang membuat sebuah persaingan dan berkompetisi untuk menjadi pembunuh terbaik yang mewakili negara mereka. Film ini telah didistribusikan ke berbagai negara seperti Jepang, Jerman, Perancis, Turki, Hongkong, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, serta Selandia Baru.

Karya terbaru Mo Brothers adalah Headshot (2016). Di Youtube, trailer film ini berhasil mencuri banyak perhatian. Cupikan-cuplikan adegan yang keras, taktis, dan brutalnya memang terlihat menjanjikan. Iko Uwais dan Chelsea Islan didapuk sebagai bintang utamanya. Headshot telah tayang perdana di ajang Toronto International Film Festival (Kanada) pada awal bulan September lalu.


Wregas Bhanuteja

Wregas Bhanuteja (23). Foto: beritagar.id
Wregas Bhanuteja (23). Foto: beritagar.id
Wregas Bhanuteja adalah nama paling anyar yang harus masuk daftar ini. Bagaimana tidak, di usianya yang ke-22 Wregas telah membuat juri di Festival Cannes terkesan atas karyanya yang fenomenal, Prenjak (2016). Film berdurasi 13 menit dengan budget sekitar 3 juta rupiah ini meraih predikat sebagai film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016, Cannes.

Prenjak memenangkan Le Prix Découverte Leica Cine untuk film pendek terbaik yang dipilih dari 10 film yang diputar dalam kompetisi. Kesepuluh finalis ini disaring dari 1500-an film pendek yang dikirim ke panitia festival!

Sebelumnya, nama Wregas telah muncul di khazanah perfilman dunia dalam ajang 65th Berlin International Film Festival, Berlinale 2015 dan 39th Hong Kong International Film Festival 2015 lewat karya yang sama berjudul Lembusura. Meski tak mendapat penghargaan, pengalaman ini telah menempa Wregas untuk makin serius dalam berkarya.

Sejak bangku sekolah, Wregas memang telah akrab dengan sinema. Film pertama Wregas dibuatnya ketika ia masih duduk di bangku SMA di Yogyakarta. Kelak setelah menempuh studi di Institut Kesenian Jakarta, ia masih setia dengan akarnya: Yogyakarta. Ini terlihat jelas di beberapa karyanya, dari mulai Lemantun (2012) Lembusura (2014), hingga Prenjak, setting hingga semua dialognya menggunakan bahasa Jawa. Hanya karya awalnya yang berjudul Senyawa (2012) yang masih bercita rasa 'Jakarta'.

Film berjudul Lemantun bahkan terinspirasi dari cerita keluarganya sendiri yang membahas soal warisan berupa lemari (Lemantun adalah bahasa Jawa halus untuk lemari). Ceritanya unik namun dituturkan dengan sederhana tanpa berusaha keras menjadi artistik. Sungguh sebuah sajian narasi yang menarik.

Mungkin di sinilah salah satu keistimewaan Wregas. Ia memiliki akar yang kuat menancap. Di mana pun ia berada, Wregas tetap mengusung jatidirinya tanpa harus terjebak hal-hal klise ala modernitas dunia kontemporer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun