Mohon tunggu...
Rasniati Nurmani
Rasniati Nurmani Mohon Tunggu... -

Bukanlah seorang yang luar biasa tapi selalu berusaha menjadi lebih baik dari hari kemarin. Seorang yang percaya mimpi dan harapan memiliki jalan yang unik untuk diwujudkan. Never too old to learn is my favorite quote ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu Sahabat Hati

19 April 2012   02:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:27 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bertemu Sahabat Hati

Lima jam sudah aku di sini. Hiruk pikuk khas pelabuhan nyata di sekililingku. Padahal lima jam lalu, saat waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi, tak pernah kusangka panorama yang ditawarkan pelabuhan cukup menarik hati, berhubung selama hidup aku selalu hadir di sini- entah sebagai pengantar, penjemput atau bahkan sebagai penumpang- biasanya aku hadir di saat-saat sibuk, saat kapal sedang bongkar muat. Kali tadi aku mendapatkan suasana lengang; tak ada kapal yang sandar, tak banyak orang di ruang tunggu di lantai dua ini, itu pun mungkin sisa-sisa pengantar penumpang kapal yang terakhir berangkat. Masih ada pedagang kaki lima di sudut-sudut strategis yang malah terkesan tidak tertib. Beberapa saat yang lalu kulihat di TV mereka demo saat coba ditertibkan oleh aparat yang berwenang. Di sudut ruang ini terlihat seorang ibu terkantuk-kantuk di depan dagangannya, mungkin sejak semalam dia di sini. Di samping tempatnya duduk ada tikar kecil yang kini ditiduri anaknya yang dekil dan tidak terurus. Buruh pelabuhan terlihat berkumpul di satu tempat di lantai bawah, kalau saat kerja mereka berburu obyekan dengan kasar dan ribut yang kadang memberi kesan menakutkan bagi sebagian penumpang, kini terlihat santai bercengkrama bersama, beberapa terlihat memanfaatkan waktu untuk memejamkan mata.

Lima ekor burung camar menari riang meningkahilaut yang berombak kecil. Angin yang berbau asin berhembus lembut. Matahari pagi terang memberi kilau pada lantai laut yang kuning kecoklatan, alih-alih biru karena pelepasan bahan bakar kapal-kapal yang pernah hadir di sini dan tentu saja limbah industri kota ini. Orang-orang yang tak juga sadar malah akan menambahnya dengan membuang sampah yang kini terapung-apung tak berdaya mengikuti irama ombak. Aku miris untuk hal ini.

Hari ini kebetulan aku tidak kuliah. Mata Kuliah yang biasanya terjadwal hari ini telah diujiankan pekan lalu. Aku memutuskan lima jam hadir lebih awal terutama karena ingin menghindari polusi kendaraan yang biasanya membuat kepalaku pening apalagi di tengah lalu lintas bising padat dan saat matahari sedang terik-teriknya di musim kemarauini. Ada banyak yang bisa kulakukan dalam waktu lima jam. Telah ku bawa setumpuk majalah dan aku bisa menulis jika aku punya ide. Bahkan jika jadwal kedatangan KM Rinjani yang ditumpangi April adikku molor sampai satu hingga dua jam, aku telah membawa makanan pengganjal lapar; dua lapis roti tawar berkraft-singles. Mesjid juga ada di sudut kiri areal ini jika waktu shalat akhirnya tiba.

Lima jam berlalu dan tampaknya KM Rinjani sesuai jadwal. Kulongokkan kepala ke arah pintu penumpang di dek empat. Sosok April berseragam pramuka tertangkap mataku. Aku segera turun ke lantai satu, di samping wartel, tempat yang aku janjikan untuk menemuinya dan menemaninya jalan-jalan di kota Makassar ini, kota tempatku menuntut ilmu sejak tiga tahun lalu. Dia bersama rombongan dari daerah Sulawesi Tenggara mengikuti perkemahan Pertiwana Nasional di Yogyakarta selama sepekan. Merekanaik kereta ke Surabaya untuk kemudian naik kapal laut menuju Kendari setelah transit tiga jam di sini.

Ternyata April bersama dua temannya dan dua Pembinanya. Kupeluk April yang juga tak kutemui sejak enam bulan terakhir karena aku tak pulang saat liburan semester. Dia lebih kurus dengan kulit wajah memerah terbakar. Memangnya apa yang diharapkan seseorang saat berkemah? Pastilah banyak kegiatan di alam terbuka yang di ikutinya, dan itulah yang membuat seru cerita seputar perkemahan. Bukannya cerita tentang seseorang yang hanya tinggal dalam kemah melakukan perawatan selayaknya putri remaja di rumah.

April memperkenalkanku pada kedua temannya yang dua itu, teman yang lain masih di atas kapal, takberniat turun hanya untuk jalan-jalan tiga jam tanpa duit pula, berhubungsemua oleh-oleh telah dibeli di tanah jawa. Alasan yang mau tak mau memancing senyumku. Kemudian beralih ke bapak pembinanya dan akhirnya Pembina yang satunya lagi yang adalah seorang ibu bertubuh pendek kecil dan sepertinya kukenal.

“ Hei, sudah lupa dengan ibu ya?” sapanya hangat. Suaranya ini dengan aneh telah membuatku mataku berkaca-kaca. Mataku diserbu hari-hari kemarin bersamanya. Suara hangat ini dengan aneh melempar hampir semua diriku ke kenangan bertahun-tahun silam. Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SD, kelas empat.

Ketika di suatu malam rumahku dipenuhi banyak orang berseragam pramuka seperti biasanya kalau KMD(Kursus Mahir Dasar)* telah sukses digelar. Ayahku selaku ketua kwarran** atas keinginan sendiri selalu menjamu mereka sebagai pengungkapan rasa syukur. Aku melongok keluar kamar dan kudapati wajah imut dari sosok bersahaja dengan tinggi tak sampai seratus lima puluh senti itu tengah menatapku dari balik gorden. Ia, menjadi orang pertama yang menegurku malam itu, seharian itu aku memang di kamar terus. Badanku rasanya panas dingin dengan persendian yang terasa ngilu, aku luar biasa lunglai rasanya. Ibuku sibuk dengan persiapan besar untuk perjamuan kecil malam ini hingga belum menyadari bahwa satu di antara tujuh anaknya hari ini tidak begitu sehat.

“ Hei, namamu siapa?” sapanya ramah dengan senyum yang begitu manis.

“ Nia ” jawabku malu-malu. Dan tak lama kemudian dia datang membawakanku semangkuk sup.

“ Saya Naomi Sampe, kamu boleh panggil saya ibu Naomi, atau ibu saja kalau kamu mau” katanya masih ramah dan mulai menyuapiku. Entah karena supnya memang enak atau karena semata kebahagiaan seorang anak kecil yang mendapat perhatian di saat sakit membuatku mengingat benar hari itu.

Keesokan paginya,saat kubuka mataku, dia telah ada di sana menatapku penuh sayang sambil tersenyum. Aku tidak tahu alasan apa yang membuatnya berlaku demikian, hingga beberapa tahun kemudian dari kabar yang pernah kudengar bahwa mungkin karena pada kenyataannya dia tak akan pernah bisa punya anak karena kanker rahim yang dideritanya.Aku membalas senyumnya lemah. Hari itu akhirnya aku tahu aku terkena cacar air. Banyak bisul berair, bernanah putih yang hadir di sekujur tubuhku. Oleh orang tuaku aku dilarang keluar rumah termasuk ke sekolah yang biasanya tak boleh kutinggalkan hanya karena alasan sakit ringan yang kadang kubuat sebagai alasan karena ingin bermain dengan waktu yang lebih panjang , angin tentu saja akan memperparah cacarku. Aku tak bisa lagi bermain bersama teman-teman. Seharian aku hanya akan tinggal di rumah saja, menonton TV, mengisi TTS. Dan hampir sebulan itu, saudara-saudaraku juga tak banyak bermain denganku, selain takut tertular mereka juga lebih senang bermain di luar, padahal pagi hari mereka pun telah meninggalkanku ke sekolah. Ayah ke kantor, ibu sibuk dengan bisnis kain adatnya. Walau pun mereka tak pernah mengacuhkanku begitu saja, ibu Naomi bagaimana pun telah menjadi sahabat dalam masa sakit itu dansedikit masa-masa setelahnya. Dia tak pernah meninggalkanku. Yang membuatku makin menyayanginya, dia tanpa takut tertular selalu bersamaku. Tangannya bahkan rela kucubiti di saat-saat aku begitu gemas atau bahkan marah padanya dan juga pada hal lain.

Ada pula di masa-masa itu, saat di mana aku begitu hilang semangat belajar karena merasa ketinggalan pelajaran selama sebulan. Dengan penuh percaya diri dia mengatakan bahwa aku pasti bisa mengejar ketertinggalanku. Tapi itu tak cukup membuatku percaya diri pula hingga dia harus menjanjikanku hadiah di akhir cawu nanti jika berhasil meraih juara pertama lagi seperti setahun belakangan. Dan tentu saja sudah kubayangkan harmonika sebagai hadiahku, maka membuatku semangat belajar lagi. Bagi seorang anak sembilan tahun sepertiku telah kurasakan semacam gairah atas tantangan itu.

Siang itu di akhir cawu, kurasakan kebahagiaanku membuncah. Aku telah berhasil mempertahankan gelar bintang kelasku. Rasanya tak sabar untuk memperlihatkan hasil di raport-ku itu pada ibu Naomi, sahabat sekaligus motivatorku itu. Sambil berlari-lari menuju rumah, kubayangkan harmonika yang akan kutiup di waktu senggangku nanti, tanpa mengindahkan lagi kejadian-kejadian lain atau bahkan juga kawan sebangkuku yang entah juara berapa.

Namun jangankan harmonika,setitik rona wajah imut yang ikut berbinar bahagia pun tak ada. Ah, mungkin sahabatku itu ingin main petak umpet denganku, pikirku. Setelah kucari-cari dia di setiap sudut rumahku, bayangannya pun tak tampak.Mataku sudah berkaca-kaca, air mataku pasti akan segera luruh. Seperti mengerti kesedihan yang menyergap ruang hatiku, ayah ibu tak memarahiku yang telah dari tadi berteriak panik memanggil namanya. Setelah menanyakan peringkat kelasku dan menyelamati keberhasilanku, akhirnya ayahku mengatakan kalau ibu Naomi telah pergi dan meninggalkan sesuatu untukku di kamar. Ternyata sebuah jaket beludru merah maroon.

Tak terkata lagi betapa terlukanya hati seorang anak yang memilikiharapan yang tinggi seperti yang terjadi padaku hari itu. Diam-diam di kamar kuluruhkan air mata yang tadi tertahan. Begitu banyak tanya yang hadir di benakku di usia yang belia itu tentang kepergiannya, sebagian besar di penuhi sesal yang berkepanjangan. Mengapadia tak menunggu hingga aku pulang dulu, mengapa tak bisa menunggu hanya dalam waktu beberapa jam saja? Mengapa dia tega membuatku sedemikian berharap dan sedemikian kecewa seperti ini?

Namun di antara sesal, tanya dan sedikit amarah, tetap kusisakan harapan untuk bertemunya lagi. Tiap kali akhir catur wulan dan melihat raportku yang menuliskan prestasiku sebagai juara pertama, aku secara absurd berharap menemukan dirinya di kamarku, tapiselalu dan selalu kecewayang kutemui hingga aku menyelesaikan bertahun-tahun masa-masa sekolahku. Kadang-kadang selalu kuhadiahi diriku sendiri untuk prestasi yang kubuat, atau untuk sesuatu yang awalnya berat kuselesaikan, karena telah kumengerti betapa dahsyatnya pengaruh janji berupa hadiah untuk hal-hal yang kulakukan dalam hidupku.

Jaket beludru itu pun setia kupakai untuk menghangatkan tubuhku di malam-malam yang kulewati saat mengikuti perkemahan. Berharap di salah satu perkemahan yang kuikutidapat kutemui dia yang sedang bertugas mendampingi peserta dari sekolah lain. Yang kudengar hanyalah kabar-kabar tak jelas tentangnya. Kabar terakhir yang coba kupercaya datang dari ayahku. Katanya dia punya masalah dengan keluarga besarnya yang tak menyetujuinya pindah dari agama nasrani ke agama islam. Alasan yang cukup menjelaskan kenapa dia ikut berpuasa pada bulan Ramadhan saat masih tinggal di rumah kami, mengingat awalnya ayah mengatakan dia seorang nasarah.

Dan sepuluh tahun berlalu, sahabat hati yang telah kucari-cari itu tiba-tiba telah berdiri di hadapanku. Memamerkan senyum yang sama ramahnya dengan senyumnya sepuluh tahun lalu di balik gorden kamarku.

Maka selaiknya seorang anak yang menemukan mainannya yang lama hilang, tak terkata lagi gembira yang hadir di hatiku. Segera ku songsong dirinya yang tetap imut itu dalam pelukan hangatku yang bertambah tinggi hingga berpuluh-puluh senti. Pelukanku yang sesaat itu seolah ingin kujadikan jawaban atas tanyaku sepuluh tahun ini.

“ Masih ingat ibu kan, Nia?” hangat suara itu sekali lagi menerpa pendengaranku. Mataku kembaliberkaca-kaca, sama berkaca-kacanya saat dulu ketika tak kutemukan dia di rumahku

“ Oh, tentu saja aku tak mungkin melupakanmu ibu…” sahutku penuh haru.

Makassar, Juli 2003

* KMD; semacam pelatihan untuk tingkat Pembina pramuka

** Kwarran; kwartir ranting- salah satu struktur organisasi dalam kepramukaan yang setara kecamatan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun