Strawberry menjadi topik pembicaraan akhir-akhir ini, sempat mencuat kaerena maraknya generasi yang ingin serba instan dalam segala hal. Karena Strawberry dimaknai sebagai bentuk gaya hidup manusia yang dalam hal ini khususnya anak-anak muda yang terlihat gampang putus asa, malas, plin-plan, egois.
Singkatnya generasi strawberry ini berasal dari neologisme yang berbahasa Tionghoa yang digunakan masyarakat Taiwan pada tahun 80-an sampai sekarang. Mereka beranggapan bahwa generasi sekarang merupakan generasi yang mudah rapuh dan memar ibarat buah strawberry. Alasannya adalah mereka tumbuh di era perkembangan teknologi yang masif sehingga sangat memanjakan mereka. Zona nyaman membuat mereka tak punya mental yang kuat, enggan dalam kesulitan, mudah menyerah, anti kritik, dan gampang stres dalam menghadapi segi kehidupan.
Lahir dengan kemajuan teknologi dan industri membuat generasi ini hidup berdampingan dengan proses kreatif. Dibalik sisi negatif dari generasi ini ialah mereka menyukai tantangan, mudah beradaptasi, mereka juga berani sepak-out dan mereka juga lebih toleran terhadap berbagai hal. Lahir dengan perkembangan teknologi sudah berkembang pesat memiliki banyak gagasan menghadapi perkembangan digital, dan juga kritis dengan kemampuan connecting the dots yang begitu luwes. Oleh karena itu, Strawberry Generation memiliki kreativitas tinggi, ide untuk usaha sendiri dan mandiri mencari solusi tanpa harus di atur oleh orang lain.
Lantas bagaimana cara menyikapi generasi Strawberry?
Dampak adanya generasi strawberry telah menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang kreatif, inovatif dan peka terhadap perkembangan teknologi dengan mereka menguasai platform media sosial menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia peka terhadap berbagai perkembangan teknologi. Namun sayangnya ini juga menjadi penanda bahwa bangsa Indonesia mulai kehilangan jadi dirinya, terlihat dari bagaimana perkembangan mental generasi strawberry sangat buruk dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan supaya generasi selanjutnya tidak semakin butuk. Pola asuh orang tua dan pendidikan karakter menjadi penting dalam kaitannya rekonstruksi mental bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H