Mohon tunggu...
Itsnaini Iflachatun Azkiya
Itsnaini Iflachatun Azkiya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tegal, Jawa Tengah, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Pendiri Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri (KH Ahmad Djazuli Utsman)

2 November 2020   23:54 Diperbarui: 29 April 2021   14:24 4477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KH. Ahmad Djazuli Utsman lahir pada 16 Mei 1900 M dengan nama Mas’ud dari pasangan Raden Mas M. Utsman(Pak Naib) dan Nyi Mas Ajeng Muntoqinah. Mas’ud lahir dan dibesarkan di desa kecil bernama Ploso. Di desa ini ramai dengan kemaksiatan. Karena hidup di lingkungan seperti itu, orang tua  Mas’ud selalu memberikan pengawasan dan bimbingan serta mananamkan sikap kedisiplinan yang tinggi.

Sebagai anak seorang bangsawan dan pegawai negeri Mas’ud beruntung, karena bisa mengenyam sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Saat Mas’ud sedang  menuntut ilmu di Batavia ia mendapat perintah dari Kyai Ma’ruf untuk pulang dan melanjutkan belajar di pondok pesantren. Rupanya beliau memiliki firasat tentang Mas’ud dan mengerti apa yang pantas untuk masa depan Mas’ud.

Mas’ud mengawali belajarnya di pesantren gondanglegi Nganjuk yang di asuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu tentang Al-Qur’an (tajiwid) dan kitab jurumiyah (nahwu) selama 6 bulan. Mas’ud juga mencari ilmu ke berbagai guru seperti KH. Hasyim Asy’ari.

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud kemudian memperdalam ilmu Shorof selama 1 tahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih (Nganjuk) yang diasuh oleh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari dan saat itu diasuh oleh KH. Zainuddin.

Selama di Mojosari, Mas’ud hidup sederhana. Setiap hari ia hanya makan satu piring kecil dengan lauk seadanya.

Di tengah kehidupannya yang semakin sulit, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal dunia. Untuk menopang biaya hidupnya di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kosong lalu ia beri makna yang sangat jelas dan dijual kepada teman-temannya.

Setiap hhari KH. Zainuddin diam-diam memperhatikan Mas’ud. Dalam suatu kesempatan, sang pengasuh bertemu Mas’ud dan memerintahkannya untuk tinggal di dalam pondok.

“co, endang ning pndok!”

“Kulo mboten gadah sangu, pak Yai” jawab Mas’ud

“Ayo, coo mbesok kowe arep dadi Blawong, co!”

Mas’ud yang tidak mengerti apa arti Blawong hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menuruti perintah sang Kyai untuk tinggal di dalam pondok. Sejak itulah, Mas;ud kerap mendapat julukan Blawong. Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Seolah burung itu punya karisma yang saangat luar biasa.

Setelah mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilannga setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Ia di sana tidak begitu lama (sekitar 2 tahun) karena ada kudetan yang dilancarkan oleh kelompok wahabi.

Di tengah perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makan Rasulullah SAW dan ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang ke tanah air.

Sepulang dari tanah suci, Mas’ud pulang ke Ploso dan hanya membawa sebuah kitab Dalailul Khairat. Kemudian ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang. Dan mengajar di sana sesuai perintah dari KH. Hasyim Asy’ari.

Kemuian ia melanjutkan ke Pesantren Termas yang diasuh oleh KH. Ahmad Dimyathi. Tak lama kemudian ia kembali ke Ploso.

Dengan modal tekat yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmunya dengan mengadakan pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hal ini menarik simpati masyarakat. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung para murid yang berdatangan. Awalnya hanya 2 orang lalu berkembang menjadi 12 orang. Maka dengan mengucap bismillah dan bekal tawakal dibentuk sebuah madrasah.

Pada tanggal 1 Januari 1925 dibangunlah lembaga baru dengan nama Al Falah. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 dari berbagai plosok Indonesia.

Pada jaman Jepang, beliau pernah menjadi wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari beliau menjalankan tugasnya sebagai camat dan menuturi perintah Jepang. Sedangkan saat malam, beliau gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan jepang.

Kekejaman dan kebiadaban Jepang semakin menjadi-jadi sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris). Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang.

Selepas perang kemerdekaan, pada tahun 1950 jumlah santri terus meningkat hingga mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok  pesantrenpun dilakukan dengan meniru sistem Tebuireng. Suatu sistem yang dikagumi Kyai Djazuli selama mondok di sana.

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar  santri-santrinya. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santrinya dalam belajar. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum”,katanya berulangkali kepada para santri.

Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.

Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Pasangan KH.Djazuli dengan Ibu Nyai Rodliyah dikaruniai 8 anak putra dan 3 anak putri:

1. Siti Azizah (meninggal diusia 1thn)
2. Hadziq (meninggal diusia 9bln)
3. KH.A.Zainuddin Djazuli
4. KH.Nurul Huda Djazuli
5. KH.Hamim Djazuli ( Alm.GUS MIEK )
6. KH.Fuad Mun’im Djazuli
7. Mahfudz (meninggal diusia 3thn)
8. Makmun (meninggal diusia 7bln)
9. KH.Munif Djazuli (Alm)
10. Ibu Nyai Hajjah Lailatul Badriyah Djazuli
11. Su’ad (meninggal diusia 4bln)

Sumber :

https://biografiulama-nu.blogspot.com/2016/10/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman-ploso.html

https://infoulama.com/biografi-singkat-kiai-ploso-kediri-kh-ahmad-djazuli-utsman/

https://www.laduni.id/post/read/56820/biografi-singkat-kh-achmad-djazuli-utsman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun