Setelah mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilannga setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Ia di sana tidak begitu lama (sekitar 2 tahun) karena ada kudetan yang dilancarkan oleh kelompok wahabi.
Di tengah perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makan Rasulullah SAW dan ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang ke tanah air.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud pulang ke Ploso dan hanya membawa sebuah kitab Dalailul Khairat. Kemudian ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang. Dan mengajar di sana sesuai perintah dari KH. Hasyim Asy’ari.
Kemuian ia melanjutkan ke Pesantren Termas yang diasuh oleh KH. Ahmad Dimyathi. Tak lama kemudian ia kembali ke Ploso.
Dengan modal tekat yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmunya dengan mengadakan pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hal ini menarik simpati masyarakat. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung para murid yang berdatangan. Awalnya hanya 2 orang lalu berkembang menjadi 12 orang. Maka dengan mengucap bismillah dan bekal tawakal dibentuk sebuah madrasah.
Pada tanggal 1 Januari 1925 dibangunlah lembaga baru dengan nama Al Falah. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 dari berbagai plosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, beliau pernah menjadi wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari beliau menjalankan tugasnya sebagai camat dan menuturi perintah Jepang. Sedangkan saat malam, beliau gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan jepang.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang semakin menjadi-jadi sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris). Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang.
Selepas perang kemerdekaan, pada tahun 1950 jumlah santri terus meningkat hingga mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantrenpun dilakukan dengan meniru sistem Tebuireng. Suatu sistem yang dikagumi Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar santri-santrinya. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santrinya dalam belajar. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum”,katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.