Mohon tunggu...
ITS MI
ITS MI Mohon Tunggu... -

I am against religion because it teaches us to be satisfied with not understanding the world. ~ Richard Dawkins

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebebasan Berekspresi? Serangan Terhadap Charlie Hebdo – France

8 Januari 2016   20:25 Diperbarui: 8 Januari 2016   21:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat Setahun sesudah serangan terhadap Crarlie Hebdo, artikel ini saya muat lagi (pernah di muat di media lain) karena masih aktual dan bagaimana pendapat Soekarno terhadap Islam.

 

Serangan yang barbar terhadap Charlie Hebdo majalah mingguan Perancis bukan hanya mengejutkan tapi juga memicu kemarahan secara luas. Bukannya kalau tidak setuju ada pengadilan? Kata orang, Islam agama damai dan teroris tidak berkaitan dengan Islam tapi kenapa kalau Nabi Mohammad digambar, Muslim tersinggung dan membenarkan apa yang terjadi di Paris. Situs-situs seperti maroc.nl yang banyak disubsidi oleh pemerintah Belanda, bisa dibaca mainstream Muslim di Belanda dan begitu juga bilamana kita berkomunikasi satu lawan satu.

Dengan kemarahan ini langsung berpikir harus berbuat sesuatu untuk bersolidaritas tapi juga memberi dukungan pada para korban dan keluarga mereka. Tentu manifes ini juga membuat statement bahwa serangan di Paris adalah serangan terhadap demokrasi dan kebebasan, khususnya kebebasan berekspresi dan berbicara (freedom; freedom of expression, freedom of speech) tidak bisa dinegosiasikan atau dikompromikan.

Saya banyak berdiskusi dengan anak saya yang berumur 16 tahun karena dia sendiri ingin ikut untuk melihatkan solidaritasnya karena dia sadar apa sebabnya kakek neneknya meninggalkan Indonesia pada akhir tahun 60 dan ingin menetap di Belanda. Sadar bahwa hidup tanpa ketakutan itu esensi dalam hidup. Oleh karena itu kebebasan pers, demokrasi dan gaya hidup seperti kami di Belanda, perlu dibela.

Masyarakat bebas itu juga berarti bebas mengkritik kekuasaan dan tentunya mengolok-olok. Tinggal di Belanda atau di Barat berarti juga menerima nilai barat dan juga menerima apa saja bisa terjadi dikritik atau diolok-olok, termasuk tokoh idola bahkan tokoh-tokoh agama. Jesus, Paus, kerajaan dll semua sudah pernah diolok-olok dan dikritik habis. Puncaknya di tahun 1960-1970.

Alasan pembenaran yang saya baca di sosial media Indonesia kebanyakan salah sendiri. Juga ada yang berkomentar bahwa Holocaust oleh Timur tidak pernah diolok-olok dan bersalut Heil Hitler di Eropa dilarang sedangkan membuat kartun Nabi dibilang bebas bicara. Dan tentunya Timur tidak melakukan hal-hal begitu karena Timur atau Islam sangat toleran. Kata lain Barat pake dua ukuran. Bahwa AEL (Liga Arab Eropa) di website mereka pada tahun 2009 dengan kartun menyangkal Holocaust atau mantan Presiden Iran Ahmadinejad sering kali menyangkal holocaust tidak disebut, Begitu juga setiap demonstrasi Palestina seperti di Amsterdam tahun lalu, demonstran Muslim bersalut Heil Hitler tidak disebutkan. Padahal orang-orang yang korban dari Holocaust masih banyak yang hidup dan banyak bukti seperti film dan lain lainnya. Jadi kalau orang yang menyangkal Holocaust atau mengagungkan Heil Hitler ada tujuan lain.

Juga biar banyak yang sakit hati, apalagi yang masih hidup atau keluarga keluarga korban yang lainnya, mereka tidak membunuh atau memakai fisik dan AEL pun dibebaskan karena biar hakim berpendapat bahwa kartun mengenai Holocaust itu selera buruk, bebas bicara lebih dipentingkan. Begitu juga Muslim yang bersalute Heil Hitler.

Bebas bicara bukan datang begitu saja, itu dibayar dengan darah beratus tahun. Bebas bicara itu hal hal yang mendasar dicapai dalam peradaban Barat. Dari sejarah kita tahu bagaimana hidup beragama dan efeknya. Oleh karena itu respek pada agama minimal. Atau apakah agama tertentu unik dan merasa menang sendiri serta di atas agama yang lain?

Ada juga yang berkomentar “Orang barat mengganggu keyakinan orang lain yang sudah dia anut sejak turun menurun..”

Orang yang berkomentar begini tidak tahu pandangan Islam terhadap Jesus atau bagaimana dengan kata “haram” dan efeknya terhadap anak anak mereka melihat non Muslim. Atau bagaimana pandangan Islam terhadap orang yang tak bertuhan atau yang berpikir lain.

Imigran yang datang ke Eropa 90% orang yang beragama Islam. Datang di Barat, hidup terjamin dan dipelihara dari lahir sampai matinya. Tapi ini hanya terjadi dari satu pihak yaitu Negara yang menerimanya. Muslim sendiri tidak mau berintegrasi. Kritik berarti diskriminasi atau bisa dibayar dengan nyawa, contohnya Theo van Gogh atau apa yang baru terjadi di Paris. Kami yang hidup di Belanda atau Negara Eropa lainnya dianggap manusia rendah dan tidak mempunyai moral. Wanita-wanita non Muslim sering dilihat sebagai pelacur, homo seksual dipukul. Pesta-pesta yang ada daging babi diboikot, Imam berteriak, isteriboleh di pukul kalau menolak suami, wanita banyak disunat sampai klitoris dihilangkan dan lain-lainnya.

Kata lain, Muslim di Eropa merasa moralnya superior dan bila ada sesuatu yang terjadi merasa dirinya sebagai korban. Tentu tingkah laku begini ada suksesnya seperti di pemerintahan kota Den Haag, pestanya sekarang tanpa daging babi. Di Inggris sudah ada sharia di beberapa tempat biar belum keseluruhan dari sharia tapi perlahan-lahan sudah ada. Ini bisa terjadi karena demokrasi dan kebebasan beragama.

Tapi dengan tingkah laku Muslim di Eropa, pada tanggal 13 Januari di berita Belanda, Nieuwsuur, memberitakan bahwa 57% populasi Jerman mengatakan Islam agama yang bahaya dan 61% berpendapat bahwa Islam tidak cocok untuk budaya Barat. Kalau negara Eropa lain yang berpendapat begini, tidak begitu mengherankan tapi ini Jerman. Negara yang sadar dan insyaf dengan perbuatan mereka waktu perang dunia.

Di tahun 1934 Soekarno sudah memperingatkan bahwa Islam agama yang berpotensi baik dan modern. Jika bisa dibebaskan dari pemikiran superioritas dan superioritas paternalistik serta mengatur kehidupan orang berlebihan yang sudah berabad-abad lalu dan tentunya dari imperialisme Arab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun