Penobatan raja Charles III pada tanggal 6 Mei 2023 memiliki hubungan yang erat dengan sejarah kerajaan Inggris sebagai salah satu monarki tertua di dunia yang masih eksis dan bertahan hingga sampai saat ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa penobatan raja Charles III merupakan sebuah simbol karena akar sejarah ideologi di inggris adalah raja dan raja adalah wajah yang merupakan representasi dari inggris itu sendiri. Hal ini sama seperti Indonesia yang memiliki garuda sebagai simbol, maka inggris memiliki raja sebagai simbol yang menyiratkan eksistensi inggris sebagai sebuah bangsa. Penobatan ini secara tidak langsung juga menegaskan bahwa monarki bisa memberikan sesuatu yang sulit diberikan oleh republik, yakni stabilitas.
Selain itu, sejak penobatan raja Charles III babak baru telah dimulai dan tentu saja terdapat pro dan kontra sebagai konsekuensi yang akan menghiasi jalannya pemerintahan. Perubahan-perubahan pasti akan terjadi seiring berjalannya waktu dan raja Charles III dihadapkan pada situasi dimana ia harus menjaga jarak dan sikapnya dari politik praktis serta harus lebih mengedepankan soft power sebagai kunci untuk mempertahankan kedaulatan dan negara-negara persemakmuran. Sehingga penobatannya dapat menjadi momen penting untuk memperkuat tuntutan-tuntutan yang bermuatan ideologis karena secara historis revolusi dan ideologi lahir dari rahim kekuasaan monarki. Penobatan ini juga pada dasarnya mengandung unsur politik- konservatisme yang menekankan kesetiaan pada tradisi dan otoritas "monarki", termasuk pada aturan yang sudah berusia ratusan tahun dan kepemimpinan raja yang sudah dianggap mapan sehingga hal ini selaras dengan pandangan Edmund Burke dalam Interpretasi  Eccleshall.
Namun, jika mengacu pada pandangan De Tracy keyakinan yang mendasari institusi monarki dan peranannya perlu dipertanyakan kembali dalam kehidupan masyarakat Inggris modern untuk melihat relevansi serta tuntutan zaman. Sebab, penobatan ini juga sekaligus mempertegas dan memperkuat posisi keluarga kerjaan sebagai bangsawan yang menjadi wajah dari inggris itu sendiri, tetapi disisi lain hal ini juga memperpanjang kelangsungan ketimpangan struktur kelas dan ekonomi dalam konteks sistem monarki (jika dipotret dari konteks pemikiran Marx). Meskipun demikian,pandangan semacam ini jika ditinjau dari perspektif Eagleton lebih cenderung bermuatan negatif terhadap monarki karena  tidak hanya dapat dilihat dari sisi struktur kelas dan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Marx karena sistem monarki di Inggris sangatlah kompleks dan tidak terikat pada satu definisi tertentu karena Inggris bukanlah monarki absolut dan dibaliknya terdapat konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dipertimbangkan.
Dalam konteks penobatan raja Charles III, adapun Kelompok yang menentang monarki, tetapi masih tergolong minoritas dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah dari waktu ke waktu karena kebanyakan dari mereka berasal dari kaum mudah yang berpandangan bahwa sistem monarki tidak lagi relevan dan tidak sejalan dengan perkembangan dunia modern, terutama dari kalangan pendukung pro-republik. Namun jika dilihat dari perspektif Manheim pandangan seperti ini mengandung konsepsi partikular dan sebuah pandangan yang terkristalisasi karena pandangan ini mungkin saja sangat kaku dan dogmatis serta tidak terbuka untuk mempertimbangkan apa yang ditentangnya sehingga penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor subjektif dan sosial serta historis dalam memahami peran raja dalam masyarakat, terutama dalam konteks kestabilan politik dan kedaulatan mengingat keluarga kerajaan memiliki reputasi yang cukup baik dan hal ini sudah dibuktikan oleh ratu Elizabeth II dalam kurung waktu 70 tahun terakhir.
Meskipun demikian, kelompok pro demokrasi yang menentang penobatan raja Charles III ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena hal ini merupakan sebuah respon yang muncul seiring dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik. Hal ini tidak dapat dianggap semata-mata sebagai sebuah konsepsi partikular dan sebuah pandangan yang terkristalisasi. Sebab, jika dilihat dari perspektif Bell rasanya tidak terlalu tepat untuk mengatakan bahwa pandangan kelompok pro demokrasi terkristalisasi sehingga ia menjadi kaku dan tertutup, melaingkan ia tidak hanya terkristalisasi, tetapi juga terus berubah dan berkembang seiring waktu karena kelompok yang menentang penobatan raja Charles III bukan hanya berasal dari kelompok-kelompok yang terisolasi, tetapi juga berasal dari budaya secara keseluruhan.
Sehingga sikap responsif terhadap perubahan zaman dan keterbukaan menjadi sangat penting bagi monarki Inggris untuk tetap mempertahankan reputasi dan relevansinya. Tetapi juga perlu digarisbawahi bahwa meskipun peranan dan tugas raja terbatas, namun ia tetap memiliki pengaruh yang kuat karena raja bukan hanya sekedar kepala negara, tetapi lebih dari itu ia adalah simbol dari persatuan. Hal inilah yang membuat monarki di Inggris masih tetap bertahan hingga sampai saat ini, berbeda dengan prancis yang sudah berkali-kali mengubah bentuk pemerintahan. Sedangkan, Inggris hanya sekali dimasa perang saudara yang dipimpin oleh Oliver selama 11 tahun, tetapi pada akhirnya hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik sehingga monarki dikembalikan sebagai bentuk pemerintahan yang stabil dan dapat memberikan kontinuitas dalam kepemimpinan stabilitas politik. Sehingga jika dilihat dalam konteks sekarang, maka menjadi sangat masuk akal dan jelas bahwa mengapa monarki Inggris masih bertahan hingga sampai detik ini. Sebab, meskipun parlemen yang menjalankan roda pemerintahan, tetapi ia tidak dapat memberikan sesuatu yang dapat diberikan oleh raja, yaitu kestabilan, khususnya dalam konteks sosial dan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H