Mohon tunggu...
Gisela Lisaduta Dhewanggi
Gisela Lisaduta Dhewanggi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

let's get lost in this enormous world.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dari Menonton Film hingga Menapakkan Kaki Langsung di Kampung Halaman The Beatles

20 Juni 2022   19:10 Diperbarui: 20 Juni 2022   19:16 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk The Beatles Shop (Dokpri)

"Here comes the Sun, doo-doo-doo-doo". Alunan khas karya kelompok musik ternama asal Britania Raya tersebut menandakan telah usainya film Yesterday yang ditonton pada suatu malam di bulan November. 

Tatapan terkesima masih bergantung pada layar gelap laptop dicampuri dengan perasaan kagum akan cuplikan kota Liverpool yang menjadi latar tempat dalam film. 

Lime Street Railway Station, Eleanor Rigby Statue, Penny Lane, Queensway Tunnel, dan suasana ramai sudut kota Liverpool terlihat cantik dari layar 15 inci tersebut. 

Siapa yang menyangka sebuah perjalanan wisata lahir dari keputusan jahil seorang mahasiswa pertukaran untuk menonton film komedi?

Liverpool, sebuah kota di Inggris yang dikenal dengan dua sangkut paut topik berdasar pada siapa lawan bicaranya. 'You'll never walk alone' atau The Beatles? Rumah bagi klub sepak bola Liverpool F.C. dan kampung halaman sang kelompok musik legendaris The Beatles menjadi dua hal yang melekat bagi kota tersebut. 

Terletak di Teluk Liverpool dekat Sungai Mersey, Liverpool juga dikenal dengan arsitektur cantiknya yang beragam sehingga membuat banyak pembuatan film berlangsung di sana. Tak heran, satu putaran film mampu menggugah rasa ingin menapakkan kaki langsung di jalanan kota maritim tersebut.

Perjalanan direncanakan hanya dalam dua malam, keputusan bulat yang diambil pada pagi dini hari mewakili perasaan antusias tiga mahasiswa pertukaran yang sedang mengemban studi di Skotlandia. Glasgow--Liverpool, bukan sebuah jarak yang jauh kan? 

Seakan mendukung rencana tersebut, limpahan informasi mengenai beragam cara untuk mencapai kota, atraksi wisata unik, mobilitas lokal, kuliner khas, tempat penginapan, bahkan ongoing event di kota cantik Liverpool terpapar sangat jelas di laman resmi visitliverpool.com. 

Sebuah hal yang sangat menyenangkan bagi calon wisatawan untuk menemui situs informasi wisata yang sangat jelas dan lengkap. Entah dapat disetujui atau tidak, VisitBritain atau situs pariwisata resmi yang diluncurkan untuk mempromosikan potensi pariwisata di Britania Raya sangatlah informatif sehingga menjadi penyokong utama informasi trip kali itu. 

Setelah itinerary tersusun, tiga tiket kereta dibeli seharga kurang dari 50 per tiket melalui Trainline, situs pemesanan tiket kereta online. Berbekal roti panggang dan telur, kisah backpacking siap dimulai.

Pagi dini hari sekitar pukul tiga, di kala orang sedang tertidur lelap, tiga mahasiswa menembus dinginnya udara kota Glasgow sambil mengayuh sepeda sewaan menuju Glasgow Central Station di Gordon Street. 

Jarak yang ditempuh hanya membutuhkan waktu lima belas menit dari dormitory yang lokasinya di Kelvinhaugh Street, sedangkan kereta akan berangkat pukul empat pagi, masih banyak sisa waktu untuk berputar mengelilingi pusat kota yang sudah mulai dihiasi dengan dekorasi natal. 

Biasanya jalan raya dan trotoar yang luas selalu penuh sesak oleh bus kota, mobil, dan para Glaswegian dengan kantung-kantung belanjanya. Glasgow Central Station adalah salah satu dari dua stasiun kereta utama yang terdapat di Glasgow, lokasinya berada di City Centre. 

Selain menjadi terminal antarkota utama Glasgow untuk layanan ke Inggris, stasiun tersebut juga melayani wilayah pinggiran selatan Glasgow Raya, serta pantai Ayrshire dan Clyde.

Setelah dirasa cukup, sepeda diletakkan kembali di pos terdekat dan langkah-langkah kecil menuju bangunan stasiun mulai dijajaki. Glasgow Central Station terlihat lengang, hanya ada beberapa orang menggeret koper dan petugas yang berdiri sigap di pintu-pintu terminal. 

Setelah melewati pengecekan e-ticket, perasaan kagum muncul saat hendak memasuki kereta bertuliskan 'Avanti Coach' karena pintu gerbong dan pijakan kaki terbuka otomatis hanya dengan menekan tombol 'Open'. 

Mungkin dapat dikatakan sebagai momentum norak, mengingat Kereta Api Indonesia masih berpintu manual semua. Kemudian, deretan kursi berlapis bludru merah terlihat kosong, suasana gerbong kala itu benar-benar sepi. 

Pukul empat lewat sepuluh menit, kereta pun meninggalkan stasiun. Perjalanan antar negara bagian yang disangka sulit dan membutuhkan waktu yang lama ternyata keliru. 

Pembelian tiket diperoleh secara sangat mudah melalui berbagai aplikasi dan situs travel online, pilihan transportasi pun beragam, mulai dari kereta, pesawat, sampai bus. 

Selain itu, Britania Raya sudah dilengkapi dengan kereta cepat sehingga membuat perjalanan Glasgow menuju Liverpool hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam. 

Tidak banyak yang dapat dilakukan bagi tiga orang di dalam satu gerbong yang sepi, setengah jam pertama dihabiskan dengan bersenda gurau sembari mendokumentasikan footage perjalanan, menceritakan asal usul keputusan perjalanan kali itu.  Empat jam berikutnya hanya suara dengkuran yang terdengar mengisi lengangnya suasana gerbong.

Suasana lengangnya gerbong kereta (Dokpri)
Suasana lengangnya gerbong kereta (Dokpri)

Setibanya di Liverpool, hal pertama yang muncul di kepala adalah: Wow, jadi begini ya Inggris. Keramaian orang seakan menyambut kedatangan kereta dari Glasgow tersebut. 

Sekawanan anak dengan seragam sekolah, pria berkenakan setelan jas dengan tas jinjingnya, beberapa orang yang bergegas menuju dan keluar kereta, dan sekian wanita muda dengan gaya modisnya yang siap melakukan apapun agenda mereka pagi itu menjadi pemandangan pertama setelah melangkahkan kaki dari gerbong. 

Sekeluarnya dari gedung, perasaan kagum langsung tersirat di wajah-wajah ketiga mahasiswa. Selain kota Liverpool yang terhampar manis, dengan menoleh ke belakang barulah terlihat Lime Street Railway Station yang berdiri dengan megah, terlihat sama persis dengan adegan pada film Yesterday.

Lime Street Railway Station terlihat megah di pusat kota (Dokpri)
Lime Street Railway Station terlihat megah di pusat kota (Dokpri)

Destinasi pertama yang dipilih adalah Moose Coffee, sebuah restoran yang mengangkat konsep budaya Amerika yang terletak di Dale Street. Karena posisi Lime Street Railway Station yang berada di dekat kota, di sekitar stasiun langsung terlihat deretan restoran, pub, penginapan, bahkan sebuah museum yang terpampang sejauh mata memandang. 

Lamanya perjalanan membuat perut mulai meminta jatah perhatian dan pilihan jatuh pada restoran Moose Coffee yang berlokasi tidak jauh dari stasiun. 

Ternyata sesampai di sana harus menunggu beberapa menit di halaman restoran karena baru buka pukul 08:00 pagi, sedangkan waktu masih menunjukkan pukul 07:53 pagi. 

Namun, tujuh menit yang berlalu seakan membuktikan pilihan Moose Coffee tidaklah salah karena satu per satu kelompok orang berdatangan ikut mengantre di halaman pintu, seakan-akan takut tidak kebagian tempat.

"How are you doing, thank you for waiting, please come in!" ujar pelayan restoran sembari membukakan pintu. Segera setelah duduk, menu berisikan deretan makanan yang asing di telinga mulai dibagikan. 

Mighty Moose, Grande Bouche, dan Moose Apple and Homemade Salted Caramel Pancakes menjadi pilihan sarapan pagi itu. Tidak sampai lima menit, hidangan tersaji. 

Sepiring fried potato yang dibalut dengan bawang dan mustar Dijon, ditemani dua telur mata sapi ala Moose, daging babi asap, dan selembar roti dengan selai, perpaduan aromanya sungguh membuat perut semakin meronta. 

Satu hal sempat melintas dalam benak: Bagian mana yang terbuat dari daging rusa? Ternyata, kata 'Moose' hanyalah sebagai pemilihan untuk nama dan tema restoran, pengolahan hidangan sama sekali tidak menyertakan daging rusa. Harga untuk sepiring hidangan tadi hanya 9.95, normal untuk hitungan makan di sebuah proper restaurant.

Seusai mengisi perut, meluncurlah ke destinasi berikutnya, Eleanor Rigby Statue. Kisah pencarian situs patung ini sebenarnya cukup melelahkan. Memutar kembali ingatan akan adegan di film, patung Eleanor Rigby seperti terletak di pinggir jalan. 

Setengah jam berlalu mengikuti arahan dari Google Map, patung mungil tersebut akhirnya berhasil ditemukan. Tanpa memutar balik di jalan yang sama sebanyak tiga kali, jarak antara Moose Coffee dengan Eleanor Rigby Statue sebetulnya hanya lima menit perjalanan kaki. 

Dari Dale Street hanya perlu berbelok ke Stanley Street dan patung Eleanor Rigby sudah terduduk manis di trotoar di seberang restoran dan sebuah Gentlemans's Club.

"We've never known the reason behind this statue. Even though I listen to The Beatles a lot, clearly have no idea who this girl is, whether this girl is real or not. I guess most of the people who took pictures with it also stick with the fame," ujar pria yang sepertinya pun seorang pelancong tentang patung yang terduduk di atas bangku taman tersebut.

Hari semakin siang, suasana di situs Eleanor Rigby Statue tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa backpacker dan sekumpulan group tour. Seusai berbincang kecil dengan seorang pelancong, melipir ke Pret untuk memesan segelas kopi panas menjadi pilihan yang menyenangkan.

Cuaca di Liverpool tidak terlalu dingin kala itu, tetapi sarung tangan dan kupluk seperti enggan untuk dilepas. Pret atau lengkapnya Pret A Manger adalah sebuah international franchise yang berbasis di Britania Raya, biasanya mereka memberlakukan promo 'free coffee every 15 minutes everyday' selama sebulan bagi pelanggan baru. 

Setelah itu promo dapat dilanjutkan dengan berlangganan dan membayar sebesar 20, harga yang murah untuk belasan gelas kopi yang mampu didapatkan setiap harinya. 

Pret seakan menjadi ikon unik bagi masyarakat Britania Raya. Jadi, jangan heran kalau 9 dari 10 orang yang berpapasan di jalanan UK sedang memegang segelas karton Pret.

Serasa energi cukup terisi kembali, langkah-langkah kaki mulai kembali dijajaki menyusuri pusat kota. Arsitektur gedung yang beragam sangat memberikan suasana yang berbeda dari kota Glasgow. 

Bangunan-bangunan berhiaskan ornamen The Beatles berdiri memenuhi kota. The Beatles Shop yang terletak di Mathew Street menjadi tujuan selanjutnya, toko merchandise official yang menjual beragam jenis pernak-pernik The Beatles. 

Dari pusat kota, masuk ke salah satu gang yang di ujungnya terdapatnya bangunan mencolok Bistro Pierre yang di atas pintu masuknya tertulis 'Rock N Rolla' besar-besar. 

Tidak jauh dari situ, jalanan panjang dengan deretan poster dan baliho kecil bertuliskan 'Beatles' memenuhi Mathew Street. Toko yang dicari berada di mulut jalan tersebut, terhimpit di antara dua gedung tinggi dengan patung keempat personil terduduk manis di atas papan nama toko.

Pintu masuk The Beatles Shop (Dokpri)
Pintu masuk The Beatles Shop (Dokpri)

Barang yang dijual antara lain pakaian seperti kaos, kupluk, syal, poster berukuran sangat besar sampai kecil, album musik, piringan kaset, berbagai ornamen kecil seperti mug, koran terbitan dengan muatan berita The Beatles, pin, gantungan kunci, tempelan kulkas, kotak musik, dan bermacam-macam jenis merchandise yang banyak sekali jumlahnya. 

Harga yang terpasang cukup perlu membuat tangan merogoh kantung lumayan dalam. Seorang wanita paruh baya yang menjaga toko siang itu dengan lembutnya menyapa dan merekomendasikan beberapa barang yang sekiranya dapat dibeli. 

Seusai mengantungi sekotak musik kecil seharga 7, berjarak seratus meter dari sana terdapat Liverpool Beatles Museum. Sebuah museum terkenal yang menampangkan enam poster besar di dinding bangunan dan papan nama di samping pintu masuk berlukiskan Pete, Ringo, John, Paul, Stuart. 

Museum tersebut juga menawarkan beberapa paket tur untuk mengunjungi banyaknya koleksi pajangan yang disusun dalam tiga lantai museum, mulai dari alat musik personil sampai barang privasi seperti surat bertuliskan tangan. 

Sayangnya, paket tur yang ditawarkan cukup mahal untuk hitungan kantung mahasiswa pertukaran, dihargai 15 untuk satu tiket dewasa. Cukup menjajakkan kaki di gift shop museum, perasaan senang tetap terlukis di wajah.

Poster di Tembok Bangunan Beatles Museum (Dokpri)
Poster di Tembok Bangunan Beatles Museum (Dokpri)

Masih di jalan yang sama, berbagai caf dan bar berjejer menghiasi cantiknya suasana Liverpool. The Cavern Club, Liverpool's Wall of Fame, Paul Statue yang lokasinya hanya membutuhkan beberapa langkah kaki antara satu dengan lainnya sungguh memberikan atmosfir kota yang seakan didedikasikan khusus untuk penggemar band The Beatles. Lelah, tidak dapat dipungkiri. 

Namun, iringan alunan lagu-lagu karya The Beatles membuat perasaan tiga mahasiswa tersebut serasa terjun ke dalam film Yesterday yang ditonton malam sebelumnya. 

Dua puluh menit berlalu, beratnya tas ransel mulai sedikit terasa. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, saat yang tepat untuk menuju tempat penginapan. Dengan sedikit berat hati, harus melangkahkan kaki meninggalkan Mathew Street.

Kembali ke arah pusat kota, langkah kaki kembali menuju ke Lime Street karena penginapan yang dipesan berada di dekat stasiun.

Seperti kebanyakan bangunan di negara-negara Eropa, lantai bawah sebuah gedung biasanya digunakan untuk membuka usaha, baik pub, bar, toko roti, restoran, atau bahkan toko pakaian, sedangkan lantai dua sampai lima ke atas digunakan untuk tempat tinggal atau penginapan.

 The Vines (The Big House) menjadi pilihan akomodasi trip kali itu. Pemesaanan sudah dilakukan melalui pencarian B&B di malam sebelum keberangkatan dengan harga yang cukup murah, yaitu tidak sampai 50 untuk dibagi tiga orang. 

Berkolaborasi dengan sebuah bar, The Vines (The Big House) terletak di kawasan Merseyside, kurang dari 1 km dari Katedral Metropolitan Liverpool dan 13 menit berjalan kaki dari Philharmonic Hall.

Setelah check-in dan membayar deposit untuk kunci kamar, seorang barista mengantar menuju kamar yang dipesan. Terdapat tiga kasur single, lemari, sebuah tv, satu kamar mandi kecil dengan toilet, dan jendela yang menghadap keramaian kota.

Sungguh pilihan yang tepat untuk memesan penginapan tersebut dengan harga yang sangat terjangkau. Lelahnya kaki-kaki yang sudah berjalan setengah hari membuat ketiga mahasiswa terkulai lemas di kasur masing-masing. 

Satu jam berlalu, mengisi energi, berbincang, dan mengeluarkan beberapa barang dari ransel, kemudian perjalanan kembali berlanjut. Destinasi selanjutnya adalah Tate Liverpool, sebuah galeri seni dan museum yang berlokasi di Royal Albert Dock. 

Museum tersebut buka setiap hari dari jam 10 pagi sampai 6 sore. Untuk mengunjungi Tate Liverpool hanya perlu melakukan booking di website tate.org.uk tanpa perlu membayar. 

Kalaupun lupa, pemesanan tiket dapat dilakukan di pintu masuk museum secara langsung. Walaupun gratis, beberapa area koleksi hanya dapat diakses dengan tiket berbayar.

Dari The Vines, transportasi yang digunakan untuk mencapai Tate adalah dengan bus. Sebetulnya, ada banyak cara untuk dapat mengunjungi museum tersebut yang informasinya dapat ditemukan di website resmi Tate. 

Pilihan sore itu jatuh pada bus. Pengoperasian bus di kota-kota Britania Raya dapat dikatakan sangat mudah dan sejenis sehingga tidak jauh berbeda dengan operasional bus di Glasgow. 

Jadwal bus dapat dilihat langsung di internet dan pembayaran tiket dapat berupa cash, card, atau online e-ticket yang dipesan melalui aplikasi. Dari penginapan menuju halte terdekat, naik bus nomor C34 dan turun di Stasiun Bus Liverpool ONE di Canning Street yang berada tepat di seberang Albert Dock, sekitar 365 meter dari Tate Liverpool. 

Selepas turun dari bus, pemandangan dihiasi oleh lalu-lalang burung camar dan langit senja. Karena posisinya dekat kanal, udara di sekitar Albert Dock terasa lebih sejuk sore itu. Saking cantiknya, hati serasa tak sanggup menahan untuk tidak meromantisasi momen itu dengan mengambil foto dan video.

Suasana senja di Albert Dock (Dokpri)
Suasana senja di Albert Dock (Dokpri)

Suasana Tate kala itu cukup ramai, banyak orang datang untuk mengagumi berbagai jenis pajangan di koleksi galeri sore itu. Satu momen yang masih teringat sampai sekarang, momen di mana seorang wanita berambut keriting terduduk menyandar pada tiang sambil menggambar sebuah pajangan karya seni di satu section pameran. 

Pemandangan tersebut cukup membuat senyum tipis terukir karena momen seperti itu jarang terjadi di museum-museum di Indonesia. Menghabiskan sekitar dua jam memutari gedung empat lantai tersebut, akhirnya diputuskan untuk berganti ke destinasi selanjutnya. 

Setelah mengambil tas di loker penitipan tas di lantai paling bawah, kaki mulai melangkah menuju The Beatles Statue yang berada di seberang Mersey Ferries Building.

Patung The Beatles yang disumbangkan oleh Cavern Club dan tiba di Liverpool's Waterfront pada bulan Desember 2015 itu bertepatan dengan peringatan 50 tahun pertunjukan terakhir band yang dimainkan di Liverpool, tepatnya di Liverpool Empire Theatre. 

Patung tersebut berukuran lebih besar dari ukuran tubuh normal manusia dengan berat kira-kira 1,2 ton. Dipahat oleh Andrew Edwards yang juga menciptakan patung All Together Now Christmas Truce WWI, patung keempat personil tersebut berpose seakan sedang berjalan beriringan menghadap ke barat ke arah perairan. 

Jika dilihat secara dekat, keempat personil memiliki sebuah pahatan kecil yang memiliki makna tersendiri, misalnya angka '8' yang terletak di sol sepatu Ringo mereferensikan L8, postcode dari rumah masa kecilnya saat di Liverpool.

Hari sudah gelap saat foto bersama patung jumbo The Beatles diambil. Badan pun sudah terasa lelah. Tas dirasa semakin berat karena kaki belum beristirahat sejak memasuki Tate Liverpool sore tadi. Satu perasaan yang muncul: lapar. 

Baru teringat kalau perut belum teramunisi makan malam, akhirnya destinasi terakhir jatuh pada Five Guys, sebuah restoran cepat saji asal Amerika yang terkenal dengan milkshakenya yang sangat creamy. 

Berjalan melewati sebuah christmas market kecil, akhirnya sampai di Five Guys terdekat. Satu hotdog isi daging babi asap, jalapeno, dan saus keju dengan harga 4.15 adalah nominal yang kecil untuk membayar energi yang terkuras akibat menjelajahi kampung halaman Fab Four tersebut. 

Ada sedikit perasaan kecewa karena 24 jam terasa kurang untuk mencapai semua destinasi yang termuat dalam film Yesterday, Queensway Tunnel yang berada di utara Tate Liverpool belum sempat didatangi. Namun kenyataannya, kaki pun sudah terasa mati rasa. Sebuah perjalanan yang tidak disangka untuk terjadi sebelumnya.

Akhirnya, seusai makan, dengan senyum terukir di wajah ketiga mahasiswa, betis yang mengencang, pundak yang sudah kaku, dan memori yang akan terukir selamanya di benak masing-masing, berjalanlah ke stasiun terdekat untuk naik bus menuju penginapan. 

Tidak banyak yang dilakukan sesampainya di kamar, bergiliran untuk mandi, kemudian suara dengkuran sudah dapat terdengar 30 menit berikutnya. 

Terlalu lelah untuk merekap perjalanan menakjubkan tersebut, mengingat tubuh perlu persiapan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke Manchester keesokan paginya.~

Cerita ini ditulis oleh Gisela Lisaduta Dhewanggi (19/439519/SA/19663) pada bulan Juni 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun