Alquran turun pada masyarakat yang berpunya corak kesusastraan tinggi. Sejarah membabar penduduk Arab (kaum Quraisy) berlomba-lomba membikin untaian syair yang kemudian dipajang pada dinding Ka'bah bagi syair terbaik. Sedangkan Alquran, kalam Ilahi ini tidak sekadar berpetuah leterlek. Dengan artian, penyampaian kabar baik dan peringatan terwedar dengan amat indah; melebihi daya magis syair. Untaian diksi Alquran bukanlah berjenis syair. Seakan-akan ada jenis kesusastraan baru yang sanggup memikat para ahli syair kala itu untuk mengakui bahwa tak mungkin Alquran merupakan kalam manusia.
Telah banyak bahasan Alquran didekati sudut pandang  linguistik dan sastrawi. Bahwa Alquran memiliki kemukjizatan pada kandungan kebahasaannya, semua pihak hatta para orientalis, telah menyepakati. Dengan kata lain, Alquran memiliki i'jazul balaghi: kemukjizatannya ditinjau dari ketinggian mutu sastra dan efektifitas kalimat-kalimat yang digunakan. Kemenarikan sudut pandang gaya bahasa (stilistika) serta semacamnya, membuat Alquran tak habis dikaji hingga hari ini. Pun, tantangan abadi untuk membuat sebuah surat saja seperti surat Alquran kian menegaskan bahwa kitab suci idealnya juga dikaji perihal gaya penyampaiannya; tidak melulu kajian sudut pandang berbasis teologis berupa perintah dan larangan-Nya.
Salah satu bahasan yang terkata masih jarang, adalah bagaimana mengkaji gaya bahasa/pengungkapan pada awal surat Alquran. Buku karangan Moh. Zahid ini, mengupas seluk-beluk kekhasan Alquran dalam memulai sebuah surat. Fawatihus Suwar atau atau kalimat-kalimat pembuka surat Aalquran bagi Zahid, menarik dikaji karena term "pembukaan" seperti sebuah kunci. Dan, benar saja, Zahid mengabarkan, pembukaan surat yang boleh dibilang tidak biasanya seperti gabungan huruf hijaiyyah yang tidak memiliki arti, justru menarik perhatian masyarakat kala itu. Mereka penasaran dan dibuat takjub dengan gabungan huruf macam pembukaan surat Albaqarah dan Yasin. Karena dibuat penasaran, walhasil, secara otomatis mereka terhanyut untuk terus mendengarkan Kalam Ilahi hingga akhir surat.
Zahid mewedarkan bahwa pada awalnya terdapat skeptisisme terhadap apa yang disampaikan Nabi Muhammad Saw hingga mereka mendengar awal surat yang tidak lazim berupa gabungan huruf tersebut. Ya, hal ini merupakan sesuatu yang baru atau belum dikenal oleh bangsa Arab saat itu (hlm: 8). Apakah fawatihus suwar hanya dimaksudkan pada ayat pertama? Zahid menjelaskan bahwa fawatihus suwar bisa terdiri beberapa ayat. Albaqarah, selain dibuka dengan pembukaan huruf at-tahajji berupa alif, lam dan mim, juga diteruskan hingga empat ayat berikutnya yang dianggap sebagai batas fawatihus suwar.
Ada rincian yang dibabar Zahid atas pelbagai macam corak pembukaan surat. Selain corak at-tahajji macam di atas, disebutkan ada sepuluh lagi apa yang bisa pula disebut dengan "intro". Yakni, intro bersumpah, panggilan, pertanyaan, menuding langsung, koersi, doa, bersyarat, kausalitas, intro menjerit (ta'ajjub), dan intro, narasi-deskripsi. Kesemua intro ini lantas dibedah satu per satu baik dari sisi keindahan, kesan dan pesannya. Pada intro ta'ajjub, Zahid memberi tamsil pada awal surat Al-Isra di mana menekankan pada kata "subhana". Kata tersebut bila dikaji secara linguistik-sastrawi, senyatanya menyimpan makna mendalam yang tidak sederhana. Dan, sememangnya dikaitkan dengan peristiwa besar: Isra Mikraj.
Kredit poin buku ini adalah Zahid memasukkan teori Komunikasi Massa. Artinya, selain berpegang pada literasi klasik berupa ulumul quran dan ilmu lughah, senyatanya bersesuaian dengan prinsip strategi Ilmu Komunikasi. Paparan Zahid, ada dua hal yang sebabkan komunikasi efektif dapat terbangun baik. Pertama, kemampuan komunikator meyakinkan sasaran komunikasinya dan kedua, pada kalimat-kalimat pembukanya. Sederhananya, intro surat boleh jadi sama dengan paragraf pertama pada sebuah karya tulis yang terbilang menentukan bakal sukses untuk dibaca-tidaknya paragraf selanjutnya hingga akhir tulisan.
Apakah intro surat merupakan cerminan/representasi pesan dari sebuah surat? Kiranya tidak sepenuhnya demikian. Lantaran dalam surat yang terdiri dari puluhan atau ratusan ayat, terdapat banyak hal yang diuarkan. Namun, banyaknya gaya intro surat menunjukkan adanya variasi komunikasi di mana hal ini menunjukkan sisi keunggulan Alquran atau dalam uraian Zahid: Allah sebagai komunikator Alquran membuka komunikasi-Nya tersebut dengan menegaskan dan meyakinkan khalayak bahwa diri-Nya merupakan komunikator yang penuh daya tarik (hlm: 265).
Idealnya, kemampuan untuk bisa menikmati keindahan kesusastraan Alquran perlu ditunjang penguasaan bahasa Arab beserta kaidah sastrawinya. Tanpa itu alias hanya mengandalkan membaca terjemahan misal, bakal sulit untuk bisa mencecapnya. Fakta sosiolinguistik macam ini adalah pesan implisit bagaimana mestinya Alquran lebih diperbanyak dikaji secara linguistik/kebahasaan. Kendati begitu, Zahid tentu memahami problem tersebut dan karenanya, secara gamblang dan tuturan sederhana, membersamai pembaca luas untuk mencoba mencicipi keindahan gaya bahasa Kalam Ilahi. Wallahu a'lam
Data buku:
Judul: Ragam Fawatih As-Suwar