Pandemi Covid-19 memang belum usai. Namun, perlahan dunia beranjak pada apa yang disebut kenormalan baru (new normal). Gerbang pintu sekolah mulai dibuka. Kegiatan belajar mengajar secara luring alias tatap muka dijalankan semampu-mampunya dengan tetap bermasker dan menaati sejumlah protokol kesehatan lainnya.
Hasrat untuk belajar tidak dengan perangkat berbasis daring (online) seakan menubuh dalam jati diri saban manusia yang bersifat sosial. Meski demikian, selama pandemi, seluruh stakeholders pendidikan mau tidak mau alias dipaksa untuk lekas menerapkan pembelajaran yang berbeda. Siapa yang memaksa? Kita mahfum bahwa sebelum pandemi ini, skema pembelajaran sudah hendak menuju pada apa yang disebut digitalisasi alias serba digital. Zaman-lah yang memaksa!
Di luar kegiatan pembelajaran di sekolah, anak-anak tingkat sekolah dasar sudah terbiasa bermain gawai (gadget). Kita bahkan mengeluhkan penetrasi gawai pada lingkup usia bocah. Mereka sudah meninggalkan permainan fisik lazimnya anak-anak periode 90-an. Meski mereka taktis bergawai, keterampilannya hanya berpusat pada gim dan hiburan.
Buku ini hadir di momen tepat. Saat di mana kebutuhan terhadap kecakapan menguasai sejumlah perkakas digitalisasi; utamanya di sektor pendidikan. Kalangan anak-anak, dengan buku ini, bisa diarahkan untuk terampil berkegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang melulu dolanan yang membuat pedih mata.
Bagaimana kalangan pendidik? Buku ini sememangnya menyorot guru selaku ujung tombak dunia pendidikan. Banyak warta mengabarkan tidak sedikit pendidik masa kini masih belum cakap teknologi. Pendidik generasi baby boomers dan generasi X alias yang kini sudah usia 50-an ke atas, kerepotan menghadapi transisi model pembelajaran pada hari ini, era digital.
Pembaca bisa membayangkan betapa sengkarut pembelajaran hari ini, bahkan sebelum pandemi yang mengharuskan semuanya serba online, mempertemukan guru era old mengajar kepada generasi Z dan Alpha? Tuntutan harus mengikut zaman, memang sebuah keniscayaan; termasuk pendidik sepuh. Problemnya, tidak sedikit dari mereka lantas teranggap enggan atau malas untuk belajar seputar teknologi dan perangkat pembelajaran modern.
Buku ini boleh dibilang taktis dan friendly sebagai upaya mengatasi problem tersebut di atas. Bahasan buku dipaparkan dibuat mudah serta lengkap alur. Langkah ini tentu menjawab problem pendidik sepuh agar tidak kian tertinggal dengan pendidik muda serta demi kelancaran kegiatan pembelajaran itu sendiri. Hanya saja, ilustrasi yang tidak berwarna dirasa kurang ramah bagi pembaca/ pendidik sepuh.
Apakah problem pembelajaran digital hanya didominasi kalangan pendidik sepuh? Tidak juga! Banyak pendidik muda sebenarnya mengalami problem sejenis. Bila pendidik sepuh, ibaratnya mesti memulainya dari nol, maka pendidik muda memang sudah punya pendasarannya. Namun, tentu saja tidak cukup sampai di situ. Pendidik muda mesti lebih bergerak lebih jauh. Lantaran dunia teknologi kian hari selalu menuntut kebaruan.
Buku tebal ini lantas memaparkan tentang "bergerak lebih jauh itu". Pendidik muda tidak cukup sekadar cakap mengoperasikan power point, misalnya. Namun, pendidik muda hari ini perlu menguasai pembuatan video pembelajaran dengan segala reniknya. Bahkan tentang power point pun, buku ini secara lengkap memaparkan sisi lain power point yang sesuai untuk perkakas pembelajaran.
Bila selama ini sarjana pendidikan adalah yang telah bergelut dengan teori dan praktik pembelajaran di kelas, maka hari ini, teori dan praktik tersebut bisa saja menghadapi problem amat unik. Yakni, bagaimana teori dan praktik seorang pendidik dalam menciptakan suasana pembelajaran di ruang virtual. Kelas virtual ini dalam banyak hal, tidak bisa disamakan dengan kelas tatap muka sebagaimana lazimnya praktik pembelajaran sebelum pandemi.
Karena itu, buku ini mewedarkan pula strategi pengelolaan sistem pembelajaran daring. Dimulai dari teknik membuat kelas virtual dengan Google Classroom hingga teknik pembuatan tugas dan kuis. Sayangnya, penulis buku nihil membincang cara-cara terbaik bagaimana merangkai relasi yang mengakrabkan antara pendidik dan peserta didik sebagaimana suasana tersebut dapat dijumpa pada pembelajaran tatap muka di ruang kelas.
Buku ini memang bersifat how to alias menyajikan ragam tips dan teknis pembelajaran digital. Maka buku ini tidak sampai pada tahapan unsur pedagogis dan hal-hal yang bersubstansi pendidikan karakter di sekolah. Walhasil, buku ini justru mengisi dan memperkaya atas masih minimnya pustaka pembelajaran berbasis digital. Dengan kata lain, betapa banyak pendidik yang sukses menjalankan kegiatan pembelajaran di ruang kelas, tetapi tidak sedikit pula yang masih kepayahan sekadar untuk membuat surat elektronik (e-mail).
Boleh jadi pembaca berpikir, bukankah aneka tips perangkat pembelajaran daring banyak dijumpa di laman Youtube, misal? Bahkan lengkap beserta tutorialnya. Betul! Namun, buku ini diterbitkan lantaran sekiranya masih banyak pendidik yang lebih nyaman dengan model membaca buku berjenis panduan macam ini. Selain itu, buku ditulis oleh yang juga bergelut dan mengerti sisi melik dunia pendidikan. Ketimbang berlama-lama memelotot layar gawai, membaca buku pun lebih menyehatkan mata, bukan?
Data buku:
Judul: Media Pembelajaran Digital
Penulis: Hamdan Husein Batubara, M.Pd.I
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Juli, 2021
Tebal: 336 halaman
ISBN: 978-602---446-555-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H