Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bunyi Alarm Semakin Keras

15 April 2021   21:45 Diperbarui: 15 April 2021   22:05 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah NKRI bubar menjadi sejumlah negara kecil-kecil? Tentu bisa. Lantas, bisakah NKRI bakal terus kokoh berdiri selama-lamanya? Sangat bisa. Bubar tidaknya suatu bangsa/negara memiliki peluang 50:50; selalu ada kemungkinan roboh yang sama besarnya untuk senantiasa tegak. 

Meski selalu digadang-gadang semboyan NKRI Harga Mati, tetapi pesan eksplisit buku ini: jangan terlalu percaya diri. Kewaspadaan saban anak bangsa diperlukan dari pelbagai ancaman disintegrasi bangsa yang terus mengintai.

             Buku ini membabar cerita-cerita kedigdayaan negara-negara yang nyaris mustahil bakal porak-poranda. Simaklah Uni Soviet dengan wilayah amat luas --mirip Indonesia. Toh, siapa sangka berakhir dengan kehancuran amat tragis. Lantas, simak pula banyak negara di Timur Tengah kini sedang kacau-balau selama-bertahun-tahun sejak Revolusi Arab (The Arab Spring) pada tahun 2011. Tak hanya korban jiwa dan kerugian harta benda, tetapi juga musnahnya persaudaraan. Perang berlandas antarsekte-antaretnis menjadi rutinitas tak berkesudahan.

            Bunyi alarm itu semakin keras. Buku ini bak alarm; mengingatkan bahwa potensi bercerai-berai bisa saja terjadi kapan saja, cepat atau lambat. Buku ini tidak membincang dan tidak berurusan dengan novel Ghost Fleet yang dianggap menerka NKRI lenyap tahun 2030. Buku ini bertumpu pada indikator ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa potensi NKRI bubar amatlah besar.

            Ditilik mendalam, hikayat bubarnya sejumlah negara tersebut di atas cukup janggal. Kejanggalan itu lantaran faktor keberbedaan identitas primordial mereka, tidak sekompleks negara Indonesia. Nah, Indonesia berlimpah suku dan adat istiadat. Ada banyak tipologi kebudayaan yang menjejak tanah air ini. Ragam keberbedaan bila tidak dijaga dengan baik, amat rawan terkoyak. Tambahan oleh buku ini yang dijadikan fokus: keterlibatan penggunaan identitas keagamaan. Populisme agama menyeruakkan politik identitas di mana gaungnya masih terasa hingga hari ini. 

            Hingga hari ini pula, kita masih belum terbebas dari ancaman aksi terorisme. Sampai kini, kita kian mudah menjumpai dakwah-dakwah keagamaan yang provokatif menjurus intoleransi. Laku-laku radikalisme dan ektremisme gampa didapat. Saling cerca soalan politik dilakukan tanpa malu-malu di ruang media sosial. Kita sebenarnya telah bertengkar amat hebat di jagat maya; mengumbar kekerasan verbal dan kekasaran percakapan. Hal inilah yang oleh buku ini dijadikan sinyalemen potensi NKRI bubar kian nyata di  depan mata.

            Usia 75 tahun NKRI bukanlah usia tua. Namun, masih begitu muda untuk mengukur ketahanan eksistensi sebuah bangsa-negara. Bahkan ide dan aksi perlawanan yang mengoyak negara ini sudah berlangsung berkali-kali. Pilihan dengan menyusuri jalan pedang pun oleh sesama anak bangsa, pernah terjadi. Upaya untuk memisahkan diri dari NKRI tak pernah usai. Ditambah pada hari-hari ini, upaya semacam unjuk superioritas berbalut diksi agama, kembali menguat. Geliat khilafah dan atau NKRI Bersyariah menjadi contoh yang dibabar detail oleh buku tebal ini.

            Berkait relasi kebernegaraan, kritik kepada pemerintah amat diperlukan. Antikritik bakal sebabkan lahirnya otoritarianisme. Hanya saja, jangan sampai lampiasan kekecewaan kepada pemerintah mesti berhilir gagasan untuk memisahkan diri (separatisme). Karena itu, perlu adanya penguatan pendidikan politik kebangsaan bagi rakyat agar jangan sampai dijadikan alat/tumbal oleh kepentingan segelintir oknum kekuasaan/politik. Buku ini lantas menyorot tajam praktik berlangsungnya pesta demokrasi yang masih jauh dari prinsip-prinsip ideal. Peran kaum oligarki dan para kapitalis semakin mengerdilkan suara rakyat dan timbulnya kekacauan sosial (halaman: 134).

            Keadilan hukum oleh suatu pemerintahan menjadi kunci terselenggaranya stabilitas suatu negara. Di sisi lain, semua lapisan masyarakat berkewajiban meleburkan sekat-sekat pemisah untuk secara bersama-sama menyelenggarakan keakraban berdasar kesamaan sebagai orang Indonesia. Menubuhkan bahwa hakikatnya tidak ada superioritas kesukuan; tak ada pula adagium bahwa sukuku lebih baik ketimbang sukumu. Pun, kesadaran kolektif untuk menghapus diktum mayoritas-minoritas. Melainkan berkesadaran setara satu sama lain; saling menghormati.

            Buku ini menujukan sikap untuk bersama-sama kembali pada Pancasila. Tidak sekadar teks, melainkan diwujudkan dalam praktik keseharian berbangsa-bernegara. NKRI tak bakal bubar bila masing-masing diri masih berpunya ikatan kuat persaudaraan. Senantiasa mencari simpul persamaan. Sesaudara dalam iman, sesaudara dalam kebangssan, dan sesaudara dalam kemanusiaan. Negara-negara yang kini kacau dan terus dilanda konflik menjadi cerminan sekaligus tamsil untuk kita agar senantiasa mengedepankan etos persaudaraan.  Wallahu a'lam     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun