Seorang wartawan, kata Ignatius Haryanto (2005) harus menulis buku. Pencapaian wartawan bukanlah meninggi dengan menjadi pemimpin redaksi, melainkan bersifat "meluas-mendalam" dengan pencapaian untuk suatu bidang tertentu yang dikuasai oleh si wartawan tersebut. Kiranya maksud Ignatius, adalah menulis buku satu topik-bahasan. Bukan bunga rampai hasil pelbagai kisah di balik peliputan sang wartawan --yang kerap berganti-ganti desk.
Menjadi Wartawan dan Seikat Kisah yang Menyertainya merupakan bunga rampai; semacam catatan ringan yang kalau dipaksa-paksakan, malahan bisa dianggap sebagai satu topik: perihal kewartawanan itu sendiri.Â
Amat berguna bagi para calon kuli tinta --julukan yang sudah usang-- untuk lebih memahami sisi lain dunia jurnalistik selain buku-buku teori jurnalisme dan ilmu komunikasi.Â
Sisi melik ritme kerja seorang wartawan diungkapkan terbuka. Ada bagian subtil yang membawa sendu. Sejumlah peliputan yang menegangkan. Dan, selebihnya adalah keasyikan dan kegembiraan.
Buku ini ditulis Erik Purnama Putra. Meski lulusan psikologi, keaktifannya di lembaga pers kampus mendorongnya untuk lebih menekuni secara profesional dunia kewartawanan. Ia  lantas diterima kerja di media Republika biro Jawa Timur. Tak berselang lama, Erik, sapaan akrabnya, dipindahtugaskan ke Jakarta. Di ibu kota, jiwa kewartawanan Erik sungguh-sungguh ditempa; dan ia benar-benar menikmati.
Ada tiga puluh sembilan kisah yang dituturkan secara bernas dan pendek-pendek. Sejumlah kisah mengundang "cemburu" pembaca lantaran betapa nikmatnya menjadi wartawan. Erik berkesempatan liputan ke banyak daerah; seakan menjelajah Indonesia.Â
Sempat ngepos di Mabes TNI, beroleh keluasan menaiki nyaris semua jenis pesawat militer. Tak cuma jelajah domestik alias meliput sudut-sudut negeri sendiri, Erik pernah mengepakkan pengalaman jurnalistiknya dengan menjejak tanah manca.  Â
Sekali lagi, Erik mengisahkan catatan sepuluh tahunnya (2009-2019) menjadi jurnalis dengan langgam keceriaan meski potongan-potongan kisah semi pilu tetap mewarnai. Tidak sampai terjebak pada glorifikasi diri, Erik mengemas cerita-cerita jurnalistiknya tanpa tendensi selebrasi ego.Â
Berbagi pengalaman bahwa tidak semua berita yang dibuatnya lantas bisa naik/tayang; dan beberapa kali dilaporkan ke Dewan Pers. Erik juga mengurai kepelikan menulis berita semi iklan (advertorial) yang di dalamnya sarat kepentingan. Lebih dari itu, satu hal yang digarisbawahi olehnya, ketika ada pihak merasa dirugikan oleh suatu media, maka jalan yang tepat adalah membawa kasus ke Dewan Pers.
Wartawan lomba?
Apa menariknya pengalaman Erik di buku ini dengan pengalaman banyak jurnalis pada umumnya? Nyaris tak ada. Namun, poin pembeda itu terletak ketika pembaca mencoba meng-googling nama lengkapnya.Â
Senyatanya, ia merupakan sedikit dari jurnalis berprestasi. Prestasi itu berlangsung stabil. Dengan kata lain, Erik terus menorehkan prestasi dari tahun ke tahun. Tentu saja, tentang capaiannya itu, Erik hidangkan di bukunya dengan porsi lumayan banyak.
Prestasi Erik adalah seringnya memenangi ajang perlombaan karya tulis jurnalistik. Meski pula, juga terbilang tidak sedikit yang berakhir kalah. Perlombaan jurnalistik bisa menjadi tolok ukur kepiawaian seorang wartawan meneroka peristiwa.Â
Dalam sebuah kompetisi jurnalistik, ada prestise tersendiri kala bisa menjuarai lantaran menyisihkan ratusan karya pewarta senasional. Aneka lomba jurnalistik telah diikutinya. Beragam tema yang dilombakan, ia coba narasikan-ikutkan dengan gaya feature. Berkesempatan jelajah Eropa dan berumroh sebagai hadiah lomba, pernah dicecap.
Maraknya lomba jurnalistik yang diselenggarakan korporasi maupun instansi pemerintahan, boleh jadi meninggalkan pertanyaan mendasar: bagaimana seorang wartawan menempatkan dirinya secara tepat ketika memutuskan mengikuti lomba?Â
Satu sisi, wartawan dituntut atas independensinya atau persisnya kritis terhadap segala peristiwa/objek pemberitaan. Sisi lain, wartawan disorongkan "hanya" mengulas sisi positif pihak penyelenggara lomba. Walhasil, apakah bakal terjadi semacam kesamaan antara wartawan dan "influencer"?
Erik sememangnya tidak paparkan jawaban atas potensi pertanyaan publik macam di atas. Namun, sekiranya ada satu bahasan dalam bukunya yang barangkali agak bisa menjawab. Bahasan itu berjudul Syiah, Wahabi, Yahudi, dan Tuduhan Lainnya. Mafhum, Republika mendeklarasikan diri sebagai koran komunitas muslim.Â
Karena itu, Republika mesti bisa mengayomi semua umat Islam lintas mazhab. Namun, hal itu amat sulit diwujudkan. Lantaran akan selalu saja ada pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan yang dianggap berat sebelah.Â
Tak pelak, media tempat bekerjanya tersebut kerap dilabel negatif (halaman: 132). Hemat kata, dibutuhkan seni manajerial yang profesional antara menjaga independensi media dan melihat pers sebagai sebuah industri.
Buku perdana Erik merupakan momen peringatan satu dekade perjalanannya menatah kata, menulis berita. Bakda ini, Erik kiranya telah menjuruskan langkah dalam satu-dua bidang.Â
Entah mengkaji isu militer atau pertahanan nasional sebagaimana bidang liputannya selama ini; yang lantas bisa dibukukan menjadi satu tema utuh sebagaimana ekspektasi Ignatius Haryanto pada paparan di atas.Â
Lebih penting lagi, kehadiran buku ini seakan menyorongkan kepada rekan sejawat akan pentingnya bahkan seharusnya seorang wartawan punya sendiri sebuah-dua buah buku, walau sekadar bunga rampai. Lantaran pada buku itulah, brevet kehormatan wartawan disematkan. Â Â Â
Data buku:Â
Judul buku: Menjadi Wartawan dan Seikat Kisah yang Menyertainya
Penulis: Erik Purnama Putra
Penerbit: Infermia Publisihing
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 144 halaman
ISBN: 978-602-53735-2-7
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H