Apa menariknya pengalaman Erik di buku ini dengan pengalaman banyak jurnalis pada umumnya? Nyaris tak ada. Namun, poin pembeda itu terletak ketika pembaca mencoba meng-googling nama lengkapnya.Â
Senyatanya, ia merupakan sedikit dari jurnalis berprestasi. Prestasi itu berlangsung stabil. Dengan kata lain, Erik terus menorehkan prestasi dari tahun ke tahun. Tentu saja, tentang capaiannya itu, Erik hidangkan di bukunya dengan porsi lumayan banyak.
Prestasi Erik adalah seringnya memenangi ajang perlombaan karya tulis jurnalistik. Meski pula, juga terbilang tidak sedikit yang berakhir kalah. Perlombaan jurnalistik bisa menjadi tolok ukur kepiawaian seorang wartawan meneroka peristiwa.Â
Dalam sebuah kompetisi jurnalistik, ada prestise tersendiri kala bisa menjuarai lantaran menyisihkan ratusan karya pewarta senasional. Aneka lomba jurnalistik telah diikutinya. Beragam tema yang dilombakan, ia coba narasikan-ikutkan dengan gaya feature. Berkesempatan jelajah Eropa dan berumroh sebagai hadiah lomba, pernah dicecap.
Maraknya lomba jurnalistik yang diselenggarakan korporasi maupun instansi pemerintahan, boleh jadi meninggalkan pertanyaan mendasar: bagaimana seorang wartawan menempatkan dirinya secara tepat ketika memutuskan mengikuti lomba?Â
Satu sisi, wartawan dituntut atas independensinya atau persisnya kritis terhadap segala peristiwa/objek pemberitaan. Sisi lain, wartawan disorongkan "hanya" mengulas sisi positif pihak penyelenggara lomba. Walhasil, apakah bakal terjadi semacam kesamaan antara wartawan dan "influencer"?
Erik sememangnya tidak paparkan jawaban atas potensi pertanyaan publik macam di atas. Namun, sekiranya ada satu bahasan dalam bukunya yang barangkali agak bisa menjawab. Bahasan itu berjudul Syiah, Wahabi, Yahudi, dan Tuduhan Lainnya. Mafhum, Republika mendeklarasikan diri sebagai koran komunitas muslim.Â
Karena itu, Republika mesti bisa mengayomi semua umat Islam lintas mazhab. Namun, hal itu amat sulit diwujudkan. Lantaran akan selalu saja ada pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan yang dianggap berat sebelah.Â
Tak pelak, media tempat bekerjanya tersebut kerap dilabel negatif (halaman: 132). Hemat kata, dibutuhkan seni manajerial yang profesional antara menjaga independensi media dan melihat pers sebagai sebuah industri.
Buku perdana Erik merupakan momen peringatan satu dekade perjalanannya menatah kata, menulis berita. Bakda ini, Erik kiranya telah menjuruskan langkah dalam satu-dua bidang.Â
Entah mengkaji isu militer atau pertahanan nasional sebagaimana bidang liputannya selama ini; yang lantas bisa dibukukan menjadi satu tema utuh sebagaimana ekspektasi Ignatius Haryanto pada paparan di atas.Â