Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

HOTS untuk Pembelajaran Kekinian

8 September 2019   14:30 Diperbarui: 8 September 2019   14:37 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional (UN) tempo kemarin sempat memantik polemik berkait kemunculan soal-soal bertema HOTS. Tidak sedikit peserta ujian mengajukan keluh-kesah lantaran soal-soal terlampau sulit dikerjakan. Klausul HOTS atawa Higher Order Thinking Skills memang mengandaikan kecakapan khusus alias butuh pelatihan/pembiasaan. Sederhananya, HOTS bisa dibilang sebagai keterampilan berpikir kritis.

Tersebab memasuki era Revolusi Industri 4.0 atau revolusi digital, pembelajaran berbasis HOTS seyogianya lekas-lekas dipraktikkan. Sayangnya, isu-isu pendidikan mutakhir masih didominasi perihal zonasi siswa, sertifikasi untuk kesejahteraan pendidik, dan infrastruktur pendidikan berupa bangunan fisik sekolah.  

Padahal, penerapan HOTS tidak terlalu memedulikan aspek-aspek tersebut. HOTS senyatanya bertumpu pada kecakapan guru. Guru sebagai kunci untuk membukakan pintu gudang pengetahuan. Kepada para pendidik itulah pantikan-pantikan agar siswa terpacu berpikir kritis, digantungkan. Bahan dasar pembelajaran HOTS dicukupkan seperangkat organ otak untuk berpikir mendalam; plus mengakari problem-problem kontemporer sehingga diharap beroleh pemecahan.

Boleh dikata, HOTS merupakan antitesis model pembelajaran konvensional. Maka, tradisi hapal-menghapal bukan bagian implementasi HOTS. Peserta didik tetap bisa mengingat angka tahun peristiwa penting tanpa perlu bersungut-sungut mengingat. Babaran tamsil bisa dirujuk pada kapan terjadinya Perang Jawa/Perang Diponegoro. Sebagian peserta didik bakal lupa momen terjadinya lantaran di saat yang bersamaan dibebankan pula aneka hapalan di hampir-hampir semua mata pelajaran.

Karena itu, jawaban ala HOTS adalah, Perang Jawa berlangsung "bakda magrib". Praktis, peserta didik boleh jadi langsung terperanjat ingat serta-merta menimpali: berlangsung pada tahun 1825-1830 M. Hal semacam ini, hanyalah sebagian kecil tamsil pembelajaran HOTS untuk memberikan alternatif model pengingat tanpa harus menghapal-mengingat-ingat. Tidak cukup berhenti di situ, HOTS beranjak pada upaya menyibak di balik suatu kejadian. Pengetahuan tentang Perang Jawa, tidak hanya disampaikan perihal lokasi kejadian, aktor-aktornya, dan tahun peristiwa. Namun, bisa lebih dipertajam dan diperluas dengan mengaitkan pada kolonialisme modern serta moralitas perang, misalnya.

Tamsil lain, pendidikan lingkungan hidup; pembelajaran model HOTS sudah meninggalkan pengetahuan cara-cara teknis penghijauan, menghapal nama-nama lapisan atmosfer, dan sebagainya. Namun, lebih menukik sembari melakukan aksi-aksi nyata berbasis ilmu atas apa yang mendesak dilakukan di depan mata. Isu sampah plastik, misal; mengandung problem serius untuk dipecahkan dan lekas diambil langkah serius penanggulangan.

Maka pembelajaran pendidikan lingkungan hidup berbasis HOTS adalah menyibak musabab isu plastik dengan juga membicarakan tema korporasi dan kapitalisme --yang di antara keduanya saling berkait. Pun, HOTS juga menibakan dorongan konkret meminimalisasi sampah plastik dengan penerapan gaya hidup minimalis dan atau membawa kantong sendiri kala berbelanja. Di sinilah alasan, mengapa pembelajaran ala HOTS beroleh dalil kuat untuk lekas-lekas dipraktikkan. HOTS tidak berhenti sekadar menjadi pengetahuan. Namun, secara langsung menciptakan sikap mental positif serta menumbuhkan kecakapan hidup; lebih-lebih di era yang kian kompetitif (hlm: 267).

Buku ini bisa menjadi referensi utama para pendidik dalam memandu pembelajaran berbasis HOTS. Mewedarkannya secara rinci mulai landasan filosofis hingga cara sistematis pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Termuat pula setumpuk contoh soal-soal berbasis HOTS lintas disiplin mata pelajaran. Melalui buku ini, pendidik bisa mengembangkan aspek HOTS pada mata pelajaran yang diampu dengan leluasa.

Ditilik mendalam, HOTS adalah konklusi berupa keterampilan berpikir kritis. Kritis bukan senantiasa termaknai asal berpikir berbeda, "negatif", dan menggugat. Namun, kritis yang bersifat positif; dengan beranjak pada penalaran meluas-mengakar, konseptual, prosedural, dan bersolusi. Karena itu, kurang tepat pula bila HOTS dikesankan sekadar berorientasi penajaman nalar tapi menumpulkan rasa dan mental kemanusiaan.

Justru, karena didasarkan bernalar dengan mematuhi tahapan konsepsi dan sistematika, dan bermuara menghasilkan pemecahan, pemaksimalan HOTS hanya bisa tercapai bila diimbangi kedewasan mental, kemapanan psikis, kecakapan komunikasi, serta kreativitas-inovasi (hlm: 271).  Lantaran itu pula, HOTS bisa merambah dan ideal pula untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora. Tujuan pembelajaran HOTS adalah peserta didik yang mampu menempatkan diri untuk bisa beradaptasi, independen bersikap --tidak gampang terombang-ambing arus, dan --sekiranya menjadi nilai tambah: mampu menjawab atas pelbagai degradasi isu-isu kemanusiaan dan lingkungan yang kian menggelisahkan, semampu-mampunya.

Data buku:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun