Sarung-sarung khas dari pelbagai daerah dipamerkan di GBK, Jakarta, awal Maret 2019. Acara bertajuk Festival Sarung Indonesia berikhtiar memuliakan salah satu identitas kebudayaan Indonesia berupa kain sarung. Acara berjalan meriah dan membawa pesan jelas perihal pemartabatan sarung.
Ada rencana dari pemangku kebijakan bahwa sarung bakal diakrabkan dalam ruang-ruang formal dengan penanda Hari Sarung Nasional; sebulan sekali, misalnya. Di Kudus, mulai Januari 2019, sebagian sekolah (baca: madrasah), yang dalam keseharian memakai celana panjang, sebulan sekali di tiap tanggal 22, bersarung ria.
Sarung perlu dimuliakan. Teranggap tidak sedikit kalangan menstigmakan sarung sebagai simbolitas pakaian kuno, kolot, dan tidak modern.
Gempuran globalisasi menaruh sarung dalam lipatan keterasingan bercorak tradisionalisme. Atau, sarung dicukupkan fungsi sebagai perangkat ibadah dan upacara adat. Untuk sekian lama, tren mode menutup hamparan sarung dalam langgam orang modern, orang kota. Dalam acara-acara formal, sarung tidak masuk dalam daftar sandang resmi.
Padahal, sarung menyimpan memori kebanggaan dan patriotik. Sekira di zaman pergerakan kemerdekaan, sarung oleh kalangan santri, merupakan identitas sakral melawan kolonialisasi. Sarung pula sebagai antitesis mode pakaian penjajah. Hingga kini, sarung menjadi identitas khas kaum santri hingga tersemat sebagai kaum sarungan.
Lewat Festival Sarung Indonesia atau SarungFest tersebut, bahwa sarung-sarung yang dipamerkan berselera tinggi. Ada banyak corak sarung: songket, tenun, batik, dan lain sebagainya. Kita pun lekas mafhum bahwa sarung-sarung khas Indonesia banyak yang bernilai jual tinggi.
Motif sarung tidak semata kotak-kotak sebagaimana lazimnya sarung-sarung produksi pabrik di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tengoklah sarung khas sutera Bugis, NTT, Donggala, Samarinda, poleng Bali, ulos Sumatera Utara, goyor Jawa Tengah; sarung-sarung dari daerah tersebut mempunyai keunikan dan perbedaan mencolok. Di sinilah letak nilai lebih sarung Indonesia.
Khazanah sarung khas Indonesia senyatanya perlu perunutan. SarungFest sekaligus momen merajut muasal sarung untuk kemudian bisa terdaulat sepenuhnya sebagai warisan budaya Indonesia.
Pasalnya, kini, sarung bukan semata digunakan masyarakat kita. Di Bangladesh dan India, sarung juga menjadi bagian pakaian keseharian dan berjualan di pasar. Pun, di Myanmar, sarung juga menubuh dalam kesehariannya. Sementara di Malaysia, sarung menjadi pelengkap wajib gaya berbusana resmi; hanya teknis pemakaian sarung yang membedakan.
Ensiklopedia Britannica (1801) sebagai catatan sejarah menguraikan bahwa sarung telah lama menjadi pakaian tradisional masyarakat Yaman bersebut futah dan lantas mengenalkannya ke kebudayaan lain.
Sementara Naufil Istikhari KR (2013) menulis bahwa, sarung masuk ke Indonesia sekitar abad ke-14 bersamaan kedatangan pedagang Gujarat. Menariknya, di Indonesia, sarung khas yang dijejer pada SarungFest 2019, teramat berbeda motif serta corak dari sarung di negara lain. Kita rupanya punya modal berharga berupa kekayaan corak-motif; tidak sekadar "polosan".
Sarung khas tiap daerah juga terpatri kandungan simbolik. Sarung tenun Bugis misal, terdapat banyak motif, di antaranya: Balo Lobang, Balo Renni, Cobo', Moppang, Bombang; menyangkut relasi perempuan dan laki-laki.
Sementara bagi orang Madura, menurut A. Dardiri Zubairi dalam Sarung: Menenun Islam dan Lokalitas (2013), sarung tidak sekadar berfungsi sebagai pakaian keseharian, melainkan sebagai perlambang pengajaran kesederhanaan. Alfian Dippahatang dalam Bertarung dalam Sarung (2019), menarasikan secara ciamik adat --yang telah ditinggalkan---tersebut.
Kini, bertarung dalam sarung bersebut Sigajang Laleng Lipa dicukupkan sebagai ajang pertunjukan seni orang Makassar. Di banyak daerah, sarung juga menjadi alat permainan mengasyikkan, salah satunya bersebut umbul sarung.
Merunut muasal sarung yang telah berabad-abad, dan meski mengalami metamorfosis, tapi sarung bisa terkata sebagai pakaian tak lekang oleh waktu yang mampu eksis di setiap roda zaman.
Walhasil, meski berbentuk serupa dengan sarung di negara lain, tetapi ada pembeda yang mencolok untuk kemudian bisa kita sebut sarung merupakan warisan budaya Indonesia. Jumlah besar penduduk beserta kekayaan jenis sarung bisa menjadi modal pendaulatan sarung sebagai identitas serta dijadikannya atribut berbusana keseharian masyarakat Indonesia secara luas.
Sarung telah difestivalkan begitu semarak. Pun, ada rencana menjadikannya sebagai Hari Sarung Nasional. Namun, ada sejumlah tantangan yang perlu dijawab.
Pertama, sarung kiranya bisa dibentuk mirip celana dan baju. Sehingga sarung gampang diterima sebagai sebuah gaya berbusana kekinian.
Kedua, sarung berkonotasi informal dan santai. Karena itu, sarung perlu diresmikan sebagai salah satu bentuk berbusana formal. Kita bisa mencontoh pemakaian sarung orang Betawi dengan mengalungkan sarung di acara resmi, misalnya.
Teori Difusi merujuk tesis Everret M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1962) menguarkan bahwa inovasi/kebaruan berasal dari satu tempat kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain.
Kebaruan adalah keniscayaan ketika kebudayaan asal bersinggungan dengan lokus dan tempus hingga membentuk kebudayaan baru. Seperti halnya sarung; mengutip teori pembiasaan klasik oleh Pavlov, pemberian pengalaman terhadap suatu komunitas meniscayakan perubahan tingkah laku.
Kita pun mengingat budayawan Sujiwo Tejo dan sebagian tokoh agama, yang menubuhkan berbusana sarung sebagai kekhasan di forum-forum resmi. Dan, kita pun terbiasa dengan pemandangan tersebut sebagai sebuah kelaziman.
Ikhtiar berupa festival sarung, hari sarung nasional, gelaran busana (fashion show) sarung, merupakan upaya pembiasaan dan pengubahan labelisasi bahwa sarung kini begitu bermartabat dan bernilai. Mari bersarung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H