Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sarung dan Dinamika Penguatan Kebudayaan

20 Maret 2019   20:58 Diperbarui: 21 Maret 2019   17:05 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sarung khas tiap daerah juga terpatri kandungan simbolik. Sarung tenun Bugis misal, terdapat banyak motif, di antaranya: Balo Lobang, Balo Renni, Cobo', Moppang, Bombang; menyangkut relasi perempuan dan laki-laki.

Sementara bagi orang Madura, menurut A. Dardiri Zubairi dalam Sarung: Menenun Islam dan Lokalitas (2013), sarung tidak sekadar berfungsi sebagai pakaian keseharian, melainkan sebagai perlambang pengajaran kesederhanaan. Alfian Dippahatang dalam Bertarung dalam Sarung (2019), menarasikan secara ciamik adat --yang telah ditinggalkan---tersebut.

Kini, bertarung dalam sarung bersebut Sigajang Laleng Lipa dicukupkan sebagai ajang pertunjukan seni orang Makassar. Di banyak daerah, sarung juga menjadi alat permainan mengasyikkan, salah satunya bersebut umbul sarung.

Merunut muasal sarung yang telah berabad-abad, dan meski mengalami metamorfosis, tapi sarung bisa terkata sebagai pakaian tak lekang oleh waktu yang mampu eksis di setiap roda zaman.

Walhasil, meski berbentuk serupa dengan sarung di negara lain, tetapi ada pembeda yang mencolok untuk kemudian bisa kita sebut sarung merupakan warisan budaya Indonesia. Jumlah besar penduduk beserta kekayaan jenis sarung bisa menjadi modal pendaulatan sarung sebagai identitas serta dijadikannya atribut berbusana keseharian masyarakat Indonesia secara luas.

Sarung telah difestivalkan begitu semarak. Pun, ada rencana menjadikannya sebagai Hari Sarung Nasional. Namun, ada sejumlah tantangan yang perlu dijawab.

Pertama, sarung kiranya bisa dibentuk mirip celana dan baju. Sehingga sarung gampang diterima sebagai sebuah gaya berbusana kekinian.

Kedua, sarung berkonotasi informal dan santai. Karena itu, sarung perlu diresmikan sebagai salah satu bentuk berbusana formal. Kita bisa mencontoh pemakaian sarung orang Betawi dengan mengalungkan sarung di acara resmi, misalnya.

Teori Difusi merujuk tesis Everret M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1962) menguarkan bahwa inovasi/kebaruan berasal dari satu tempat kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain.

Kebaruan adalah keniscayaan ketika kebudayaan asal bersinggungan dengan lokus dan tempus hingga membentuk kebudayaan baru. Seperti halnya sarung; mengutip teori pembiasaan klasik oleh Pavlov, pemberian pengalaman terhadap suatu komunitas meniscayakan perubahan tingkah laku.

Kita pun mengingat budayawan Sujiwo Tejo dan sebagian tokoh agama, yang menubuhkan berbusana sarung sebagai kekhasan di forum-forum resmi. Dan, kita pun terbiasa dengan pemandangan tersebut sebagai sebuah kelaziman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun