Kini, kita telah sampai pada era konsumerisme. Era di mana manusia tidak sekadar membeli apa yang dibutuhkan. Melainkan bergeser dengan membeli "keinginan" berpamrih  status sosial, prestis, dan citra.Â
Herbert Marcuse menyebutnya "false need" alias kebutuhan yang semu (hlm: 303). Membeli pakaian, misal. Di era yang telah membentuk sempurna term masyarakat konsumen, kebutuhan untuk menyandang lebih dorong oleh tren, dipromosikan pesohor, buatan negara mana. Membeli pakaian senyatanya tidak sedang benar-benar butuh, tetapi lantaran ada diskon besar.
Pada masyarakat konsumtif demikian ini, hanya ada satu tujuan laba. Pemerolehan laba sebesar-besarnya merupakan orientasi utama ketika kapitalisme menjadi pakaian bersama oleh hampir semua masyarakat dunia. Terutama sekali oleh korporasi-korporasi yang dalam buku ini dinyatakan sulit diharapkan kepedulian terhadap permasalahan sosial dan lingkungan.Â
Gerak ekonomi yang ditandai berdirinya perusahaan-perusahaan sering distigma sebagai modernitas dan perlambang kemajuan.Â
Namun, di sisi lain, cerobong-cerobong industri telah mengeluarkan kepulan asap tebal yang disinyalir penyebab pemanasan global. Kemaruk korporasi untuk terus menjajakan konsumerisme juga berimbas terkurasnya sumber daya alam yang menghilirkan kerusakan lingkungan.
Pada buku berkover anggun ini, sang penulis, Nana Supriatna, mengisahkan keunikan Praha. Wilayah ini pernah dikuasai ideologi sosialisme. Ideologi yang ditandai adanya ikhtiar mewujudkan kesetaraan sosial dan menentang produksi secara berlebihan.Â
Praha bersama beberapa wilayah lain di Eropa memang pernah pada masa Uni Soviet berpaham demikian itu. Namun, saat berkunjung ke ibukota Republik Ceko tersebut pada 2017, Supriatna lantas mengabarkan bahwa Praha telah turut dan larut menjadi bagian masyarakat konsumen (consumer society).Â
Kini, restoran cepat saji khas made ini Amerika Serikat terlampau mudah dijumpa. Supriatna, profesor sejarah UPI Bandung ini, lantas mengulik sisi lain perubahan radikal itu mulai dari resto-resto yang telah menjadi brand internasional.
Ada keramahan dan senyuman karyawan resto. Supriatna menelisik perihal "remeh temeh" tersebut. Ia dengan fasih menguarkan perihal senyum ramah atau sapaan para karyawan di hampir semua toko-supermaket yang senyatanya tak lebih sekadar siasat korporasi.Â
Bagi Supriatna, senyum-senyum itu adalah kepalsuan dan keformalan yang tidak bakal membekas di hati pembeli/pelanggan. Sapaan ramah macam itu hanyalah sebentuk upaya korporasi dalam diktum kapitalisme yang bertujuan mendorong masyarakat untuk terus datang dan terus membeli.Â
Korporasi tentu acuh tak acuh soal seberapa sehat dan bergizi kuliner yang dijajakan. Maka, di balik kenikmatan ayam goreng, hamburger, dan sejenisnya; yang kesemuanya menihilkan unsur kesehatan, seraya muncul kemudian masyarakat obesitas dan sakit-sakitan.