Bohemian style merupakan sebutan gaya berbusana masyarakat Praha pada beberapa tempo silam. Namun hingga kini, gaya nyentrik itu masih dipertahankan.
Bohemian adalah semacam gaya berbusana yang ditandai dengan berpakaian longgar dan berwarna-warni. Lazimnya dikenakan para seniman, aktivis, penulis, dan intelektual.
Sederhananya, gaya bohemian adalah pakaian yang tidak padu-padan, tidak serasi, acakadut, asal pakai. Gaya ini merupakan simbol perlawanan terhadap busana kaum ningrat Praha yang mewah, rapi, serba tertata.
Zaman terus bergerak; dan begitu pula perihal mode pakaian. Pakaian merupakan identitas. Bukan lagi semata pemenuhan kebutuhan dasar fisiologis. Bila dulu, pakaian dipintal terbatas dalam industri rumahan, kini pakaian diproduksi secara massal sekaligus menyimpan hikayat ironis.Â
Buku berdasar hasil kunjungan akademis ke Praha ini, menguarkan bagaimana kegetiran atributif pakaian itu disandang masyarakat modern. Nana Supriatna meyakini, pakaian yang dikenakan orang-orang yang lalu-lalang di jalanan Praha, pastilah barang satu-dua diproduksi di Indonesia.
Penulis yang merupakan profesor sejarah UPI Bandung ini, seketika miris teringat wajah keruh Sungai Citarum. Citarum yang memberikan kelimpahan air bagi jutaan masyarakat terimbas oleh limbah hasil produksi pakaian. Korporasi tekstil asing telah memenuhi tatar Sunda. Ia kemudian membabar serta mengaktualisasikan narasi sejarah kolonialisasi yang kemudian menghasilkan budaya konsumerisme.Â
Dalam sistem kapitalisme, para investor asing mendirikan pabrik di negara-negara berkembang yang senantiasa menggaransi ketersediaan upah murah, sumber daya manusia, dan bahan baku melimpah.
Supriatna membubuhkan kesadaran kemunculan industri fesyen yang dimulai akhir abad ke-18 pascaRevolusi Industri, menuntun terciptanya globalisasi ekonomi. Dengan kata lain, memunculkan pula masyarakat konsumen (consumer society). Ketika modernitas kian melaju, industri fesyen dalam skala luas telah mencakup pengadaan bahan, pembuatan kain, pembuatan pakaian, penjualan, pengemasan, pemberian merek, mendesain, dan tempat penjualan (hlm: 279). Korporasi tekstil tidak lagi sekadar memproduksi fesyen sebagai kebutuhan dasar manusia. Melainkan bergeser menjajakan pesona dan citra atas sebuah gaya dan prestis.
Di era masyarakat konsumen, pakaian adalah komunikator yang menerangkan siapa pemakainya. Pakaian menjadi sarana menampilkan identitas diri beserta simbolitas keakuan. Hal ini lantas tidak disia-siakan korporasi fesyen. Masyarakat konsumen di era kapitalistik yang ditandai gemar berbusana merupakan ceruk bisnis besar korporasi tekstil.Â
Gaya berbusana telah menjadi komoditas dan lantas dikomodifikasi dalam balutan citra berupa jenis bahan, merek, dan siapa yang pernah mengenakan.Â
Pembaca tentu mengamini terhadap gaya khas pembeli pakaian masa kini yang membeli berdasar merek, promosi pesohor, dan stigma tren. Belanja baju disebabkan tergiur dipakai si artis. Berbelanja baju lagi lantaran bakal merayakan hari raya. Terus berbelanja baju dikarenakan sedang ada diskon. Lupa bahwa masih ada pakaian bagus layak pakai menumpuk di lemari.