Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bakat Tiap Anak bak Tinggi Pohon Jambu dan Kelapa

14 Agustus 2018   11:57 Diperbarui: 14 Agustus 2018   12:38 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebersamaan anak dengan orangtua, terutama kepada Ibu, mulai berkurang. Kini, Ibu bekerja hingga sore menjelang. Sementara Ayah, berkewajiban bertungkus lumus mencari nafkah utama. Anak, lantas diakrabkan kepada kerabat-tetangga atau nenek untuk berasyik-masyuk bermain bersama. 

Model pengasuhan ini menggantikan pengasuhan tempo dulu kala Ibu masih mempunyai waktu berlebih menceritakan aneka pengetahuan kepada si anak. Seiring laju modernitas, celah ini lantas ditangkap dengan pertanda menjamurnya penitipan anak. Di tempat yang sudah menjamah perdesaan ini, anak-anak bermain, makan, dan bersenang-senang bersama teman sebaya hingga nanti dijemput kembali oleh orangtua.

Lepas itu, anak dihadapkan dalam bingkai ajang persekolahan, sekadar main-main untuk lekas belajar agak serius. Membanjirlah sebutan kelompok bermain (KB) dan sekolah PAUD (pendidikan anak usia dini). Dan, hingga di taman kanak-kanak (TK), si anak diharap sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Berdasar hal ini, kebersamaan orangtua dan peranan terutama Ibu sebagai elan vital dan subjek pertama mendidik anak mulai tertanggalkan. Orangtua dicukupkan urusan asupan pendidikan si anak pada level formalitas macam demikian.

Gerak modernitas juga menghilirkan tidak sedikit lembaga formal pendidikan macam PAUD dan TK berlomba-lomba menarik hati para orangtua. Semisal di TK ini, ditambahkan pengajaran bahasa asing. Dan di TK sebelah, tersedia lengkap fasilitas belajar dan sarana bermain.

Dari sini, kiranya sudah dimunculkan benih-benih pemacuan agar si anak menjadi anak hebat dan jagoan; lancar berhitung, membaca, menulis, bernyanyi, berenang, dan bermusik. Ada hasrat anak dijadikan orangtua sebagai manifestasi ukuran agar mampu menjawab tantangan zaman dewasa nanti.

Hal ini berlanjut kala mulai sekolah dasar (SD) terpatri sistem pemeringkatan (ranking). Si anak cerdas adalah yang memperoleh nilai/angka paling tinggi di hampir semua mata pelajaran untuk kemudian menduduki rangking satu. Sebaliknya, anak-anak yang berkecenderungan biasa-biasa saja tidak ubahnya kebanyakan orang.

Ironisnya, tak sedikit anak yang hanya unggul di satu mata pelajaran/keahlian, akan terpental dari apresiasi karena tak kebagian peringkat kelas. Dari sini, anak lantas dileskan agar ia menjadi andal berhitung. Dengan artian, sekadar agar nilai/angka matematika membaik; padahal ia unggul di ranah kesenian, pandai menggambar.

Fenomena ini lantas terus berlanjut hingga jenjang sekolah lanjut atas (SMA) dan kemudian si anak masuk ke perguruan tinggi (PT). Basis/pondasi yang kadung dibangun kurang tepat itu disebabkan si anak dan terutama orangtua abai dan alpa memetakan keistimewaan si anak sedari usia dini. Kita sudah sering mendengar bahwa setiap anak mempunyai keunikan dan spesialisasi masing-masing.

Dan, menurut Idad Suhada (2016) dalam Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, harusnya, pemetaan dan pembacaan orangtua terhadap potensi otentik/bakat si anak sudah bisa ditemukan sejak usia balita. Kini, imbasnya kita pun akhirnya maklum dengan fenomena banyak mahasiswa merasa salah masuk jurusan/bekerja tidak sesuai "bakat", lantaran sedari kecil tidak terlatih menemukan potensi otentik dalam dirinya.

Peran orangtua dalam memperkuat basis pendidikan si anak terlebih dahulu ditekankan perihal pentingnya kesadaran kepada orangtua agar mereka tidak menjadikan si anak sebagai ukuran pembanding terhadap anak-anak lain. Si anak yang lebih berorientasi kepada dunia kesenian, akan tidak optimal manakala orangtua menghendaki untuk kuliah di jurusan arsitektur.

Fenomena jamak terjadi itu sedikit-banyak didasari oleh sekadar urusan sejauh mana keterjaminan finansial si anak di kemudian hari. Unsur lain, adalah persaingan, menciptakan pemeringakatan di kelas. Anak diperlombakan agar unggul di semua mata pelajaran. Dan di sisi lain, menanggalkan optimalisasi potensi diri/bakat mereka.

Manusia adalah makhluk unik yang berdimensi menjadi keberbedaan-keberbedaan. Orangtua tidak perlu membandingkan anaknya yang lemah di bidang eksakta namun jago di ilmu sosial dengan anak tetangga yang juara olimpiade Fisika.

Menurut kajian Psikologi Anak, kutip Idad Suhada (2016), bakat/potensi otentik diri adalah fitrah. Seperti halnya ikan tidak akan pernah bisa memanjat pohon sebagaimana kera tidak bisa berenang. Begitu pun tingginya pohon kelapa, tidak bisa dibanding-bandingkan dengan tingginya pohon jambu. Istilah lain: beda kaki, beda sepatu; seperti uraian pada laman berikut.

Semua anak mempunyai keistimewaan dan keunikan masing-masing di mana satu dengan yang lainnya tercipta untuk saling melengkapi sebagai basis harmoni dan keselarasan kehidupan.

Dalam konteks sekarang, orangtua yang sibuk, bisa menyisipkan waktu belajar bersama si anak saat malam hari dan di akhir pekan. Dibutuhkan sinergitas dengan stakeholder pendidikan, guru sekolah PAUD, tentang potensi diri si anak untuk kemudian bisa dikembangkan dan dioptimalkan. 

Sinergitas bisa terlihat kala orangtua mengantarkan ke sekolah si anak untuk kemudian berbincang sesaat --namun kontinu tiap hari- kepada guru. Gelaran pertemuan berkala antara orangtua dan pihak sekolah juga penting. Terutama lagi, pemberian porsi pengajaran berkait moralitas dan tata krama juga mendesak diberikan sebagai pendidikan pengembangan mental si anak.

Terkira sudah usang model peran orangtua memaksa si anak untuk menjadi yang terhebat dan terunggul di kelas. Boleh jadi si anak bakal stres bila tidak disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Sudah saatnya meninggalkan anggapan bahwa sukses anak merupakan bukti kesuksesan orangtua. Sayangnya, model pemaksaan orangtua itu kini terwartakan ramai terjadi di Amerika Serikat.

Banyak orangtua sudah mendaftarkan calon anak mereka di sekolah-sekolah bergengsi begitu mereka hamil. Anak bak sudah diprogram dan setelah itu mereka diandaikan bakal lebih mudah masuk ke universitas top Amerika dan bekerja di perusahaan besar. Pun, memaksa si anak untuk lekas berlatih berenang agar cepat-cepat dapat mengikuti Olimpiade (Intisari, Mei 2017).

Kita tentu tidak menginginkan hal itu terjadi di sini; orangtua yang memaksa dan telah memprogram sebegitu rupa kepada si anak. Potensi diri otentik/bakat adalah sesuatu yang unik dan biasanya muncul secara alami. Tugas orangtua sekadar menganalisis bakat si anak dan mengembangkan potensinya di tengah kesibukan mereka yang bekerja dari pagi hingga jelang sore.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun