Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bakat Tiap Anak bak Tinggi Pohon Jambu dan Kelapa

14 Agustus 2018   11:57 Diperbarui: 14 Agustus 2018   12:38 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Fenomena jamak terjadi itu sedikit-banyak didasari oleh sekadar urusan sejauh mana keterjaminan finansial si anak di kemudian hari. Unsur lain, adalah persaingan, menciptakan pemeringakatan di kelas. Anak diperlombakan agar unggul di semua mata pelajaran. Dan di sisi lain, menanggalkan optimalisasi potensi diri/bakat mereka.

Manusia adalah makhluk unik yang berdimensi menjadi keberbedaan-keberbedaan. Orangtua tidak perlu membandingkan anaknya yang lemah di bidang eksakta namun jago di ilmu sosial dengan anak tetangga yang juara olimpiade Fisika.

Menurut kajian Psikologi Anak, kutip Idad Suhada (2016), bakat/potensi otentik diri adalah fitrah. Seperti halnya ikan tidak akan pernah bisa memanjat pohon sebagaimana kera tidak bisa berenang. Begitu pun tingginya pohon kelapa, tidak bisa dibanding-bandingkan dengan tingginya pohon jambu. Istilah lain: beda kaki, beda sepatu; seperti uraian pada laman berikut.

Semua anak mempunyai keistimewaan dan keunikan masing-masing di mana satu dengan yang lainnya tercipta untuk saling melengkapi sebagai basis harmoni dan keselarasan kehidupan.

Dalam konteks sekarang, orangtua yang sibuk, bisa menyisipkan waktu belajar bersama si anak saat malam hari dan di akhir pekan. Dibutuhkan sinergitas dengan stakeholder pendidikan, guru sekolah PAUD, tentang potensi diri si anak untuk kemudian bisa dikembangkan dan dioptimalkan. 

Sinergitas bisa terlihat kala orangtua mengantarkan ke sekolah si anak untuk kemudian berbincang sesaat --namun kontinu tiap hari- kepada guru. Gelaran pertemuan berkala antara orangtua dan pihak sekolah juga penting. Terutama lagi, pemberian porsi pengajaran berkait moralitas dan tata krama juga mendesak diberikan sebagai pendidikan pengembangan mental si anak.

Terkira sudah usang model peran orangtua memaksa si anak untuk menjadi yang terhebat dan terunggul di kelas. Boleh jadi si anak bakal stres bila tidak disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Sudah saatnya meninggalkan anggapan bahwa sukses anak merupakan bukti kesuksesan orangtua. Sayangnya, model pemaksaan orangtua itu kini terwartakan ramai terjadi di Amerika Serikat.

Banyak orangtua sudah mendaftarkan calon anak mereka di sekolah-sekolah bergengsi begitu mereka hamil. Anak bak sudah diprogram dan setelah itu mereka diandaikan bakal lebih mudah masuk ke universitas top Amerika dan bekerja di perusahaan besar. Pun, memaksa si anak untuk lekas berlatih berenang agar cepat-cepat dapat mengikuti Olimpiade (Intisari, Mei 2017).

Kita tentu tidak menginginkan hal itu terjadi di sini; orangtua yang memaksa dan telah memprogram sebegitu rupa kepada si anak. Potensi diri otentik/bakat adalah sesuatu yang unik dan biasanya muncul secara alami. Tugas orangtua sekadar menganalisis bakat si anak dan mengembangkan potensinya di tengah kesibukan mereka yang bekerja dari pagi hingga jelang sore.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun