Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Pancasila, Meneguhkan Kebinekaan dan Persatuan

22 Juni 2018   21:13 Diperbarui: 22 Juni 2018   22:02 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teladan toleransi dan kebinekaan sebenarnya sudah terpatri apik dalam kesehariaan masyarakat Indonesia. Di sudut perdesaan Lamongan, Jawa Timur, aneka romantisme pemandangan keberbedaan sekaligus kerukunan tampil rancak nan anggun. 

Adalah Balun, desa yang dihimpun oleh setidaknya tiga pemeluk agama: Islam, Kristen, dan Hindu. Masjid, Gereja, maupun Pura bertetanggaan. Bahkan, ada satu rumah --relasi orangtua dan anak-- terdiri atas berlatar berbeda agama, kadung biasa. 

Kala toleransi dirasa agak luntur, desa Balun sangat bisa menjadi tamsil pewedar kesejatian toleransi dalam konteks keindonesian. Tak berlebihan, bila Balun berjuluk "Desa Pancasila".

Pemandangan seperti di Balun atau bahkan lebih berwarna-warni lagi berkait atributif keindentitasan, sebenarnya sudah biasa kita temui di banyak daerah. Lebih-lebih di kultur masyarakat perkotaan yang secara alamiah berciri heterogen. 

Percampuran dan pembauran lintas etnik dan termasuk agama, telah menjadi kekhasan suatu identitas perkotaan di manapun berada. Namun, Balun dalam sorotan yang lebih mendalam, menyibakkan keberlainan. 

Yakni, saat keharmonisan keberbedaan/berbineka benar-benar dijaga sehingga tidak pernah ada gesekan sosial terpicu oleh suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kerukunan telah awet berlangsung sangat lama.

Begitulah sebenarnya tipikal asli masyarakat Indonesia; ketika agama tidak ditempatkan sebagai pemicu konflik dan pertikaian. Perbedaan justru sebagai modal dan media membangun kerjasama. 

Maka betul apa yang disampaikan Gus Dur dalam suatu dialog di televisi bahwa, bangsa Indonesia (baca: Nusantara) telah berabad-abad lamanya melakonkan hidup pancasilais meski tanpa nama "Pancasila". 

Kesadaran dan fakta sejarah tersebut lantas mencapai puncaknya kala "Pancasila" sebagai de jure ditetapkan pada 1945. Tonggak kemerdekaan Indonesia tidak dimonopoli oleh hanya suatu etnis dan satu pemeluk agama. 

Masing-masing pihak mempunyai saham perjuangan. Maka, menjadi tak etis, bila ada sebagian pihak merasa paling berjasa dalam kemerdekaan.

Bila dicermati, sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, telah memberikan artian atas keniscayaan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia. Perbedaan adalah semacam gen yang bermacam-macam pembentukannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun