Pada hari-hari ini, semarak penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, di satu sisi, mendatangkan kebermanfaatan dan perluasan pengetahuan. Namun, tidak jarang dijumpa, penerjemahan juga membawa konsekuensi kemusykilan alias kekurangtepatan pada ranah diksi dan konteks terjemahan. Sehingga, penerjemahan rawan berpotensi gagal paham. Dengan kata lain, bila penerjemahan membawa pemahaman bertolakbelakang dengan Pancasila, misalnya.
Buku ini menguar agar kita maupun menujukan kepada peneliti, guru, dosen, dan mahasiswa, untuk secara cermat bisa memetakan kasus-kasus seperti di atas. Agar bila ada penerjemahan, tidak langsung ditelan mentah-mentah sebagai kebenaran tunggal.Â
Pembaca disorongkan strategi-strategi agar lebih awas dalam membaca sebuah fenomena penerjemahan. Alhasil, rampung membaca buku ini, maraknya fenomena buku-buku terjemahan perlu penyikapan reflektif: apakah sudah betul penerjemahan itu dan membawa efek kebaikan kepada masyarakat luas, atau sebaliknya.
Karena itu, buku ini sekaligus memberikan tips-tips dan cara-cara pengembangan pembelajaran kebahasaan di lembaga pendidikan maupun dalam sistem pendidikan nasional. Sehingga, ke depannya, pengajaran bahasa Arab --dan juga bahasa asing lain--- semenjak di tahap dasar hingga tingkatan atas (SMA/madrasah Aliyah) bisa benar-benar dikuasai oleh peserta didik.
Kepada para penekun/mahasiswa bahasa, tak jarang didapati kerancuan dan ketidaktepatan bahasan dalam tugas akhir macam skripsi dan tesis. Padahal, di pundak mereka, pasang-surut dan maju-mundur suatu bahasa dipertaruhkan.Â
Buku tebal ini juga menyentil fenomena tersebut seraya memaparkan kiat-kiat meneliti fenomena kebahasaan dengan benar. Sehingga ada kebermanfaatan besar bagi tumbuhnya khazanah suatu bahasa. Menukik lagi, buku ini secara spesifik membabar kaidah penelitian bahasa Arab yang berkaitan erat dengan Alquran (hlm: 105).
Di tengah kompetisi global, penguasaan lebih dari satu bahasa asing --tidak hanya bahasa Inggris-- merupakan keniscayaan. Dan, bahasa Arab memiliki signifikansi tersendiri dalam jagat kebahasaan yang perlu diketahui. Dalam bahasa Arab kekinian, juga memunculkan problem kebahasaan yang hampir mirip dengan di hampir semua bahasa, yakni: penggunaan bahasa baku dan bahasa non-formal.
Dalam istilah bahasa Arab, bahasa resmi dinamakan fusha dan bahasa percakapan keseharian disebut 'ammiyah. Fenomena ini disebut diglosia. Sebenarnya, diglosia bisa dijumpai pada bahasa Indonesia; di mana bahasa yang dipakai dalam situasi formal berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam kondisi santai. Meski demikian, masyarakat Indonesia tidak mengalami kerepotan dan bisa menggunakan di antara keduanya menyesuaikan tempat dan situasi.
Hal ini berbeda dengan bahasa Arab. Lantaran antara bahasa fusha dan 'ammiyah memiliki perbedaan mendasar dan lebih kompleks permasalahannya. Sehingga hal ini membingungkan pengguna generasi muda (milenial)/anak sekolah. Mereka gagap karena bahasa yang dipakai di sekolah berbeda jauh dengan bahasa yang digunakan di luar sekolah.Â
Paparan buku ini menyebut, para siswa ternyata lebih menyukai penggunaan bahasa 'ammiyah. Pada gilirannya, para siswa tampak tidak betah dan tidak menikmati proses belajar-mengajar di kelas. Apalagi, mempelajari bahasa fusha membutuhkan waktu cukup lama karena terbangun oleh tata bahasa lebih rumit. Diglosia yang terjadi pada bahasa Arab macam itulah disinyalir sebagai penyebab ketertinggalan masyarakat Arab (hlm: 26). Terlepas itu, buku ini berhasil membentangkan cara memahami pelbagai problem kebahasaan Arab mutakhir yang bisa pula diterapkan untuk memahami dinamika kekinian pada semua bahasa.