Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Relasi Ideal Agama dan Sains

1 November 2017   14:02 Diperbarui: 1 November 2017   14:24 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data buku:

Judul: Sains dan Teknologi Islami

Penulis: Dr. Akhmad Alim

Penerbit: Rosdakarya, Bandung

Tebal: 138 halaman

Cetakan: 2016

ISBN: 978-979-692-583-4

Relasi antara agama dan sains-ilmu pengetahuan ditafsir berbeda-beda. Oleh sementara kalangan, keduanya tidak dapat disatukan. Lantaran memiliki basis kebenaran yang berbeda. Agama, memiliki sifat kebenaran yang tidak dapat diukur panca inderawi. Sedangkan kebenaran sains dapat dibuktikan secara rigid. Sehingga, kebenaran sains diterima oleh semua orang ketimbang sifat kebenaran yang dimiliki oleh agama. Oleh kalangan ini, keduanya tidak perlu disatukan dan dihubung-hubungkan lantaran pada dasarnya memiliki jalan kebenaran yang berbeda.

Sebaliknya, sebagian pihak lain berujar, agama dan sains memiliki kebenaran yang menyatu, integral. Dalam konteks ini, sains harus menuruti kebenaran agama. Lantaran, agama merupakan hal sakral langsung dari Tuhan, Sang Pencipta sains. Ditilik mendalam, kebenaran sains sekadar kebenaran semu yang terus memerlukan pembaruan-pembaruan setiap saat. Apalagi, sifat kebenaran sains, hampir-hampir selalu menegasikan atau berubah dari kebenaran sains di periode sebelumnya. Tentu hal ini bertolakbelakang dengan sifat kebenaran agama yang bersifat ajeg-baku.

Perdebatan di antara dua kubu seperti di atas senantiasa terus terjadi. Maka dari itu, beberapa kalangan lain mencoba mencari jalan tengah. Di mana mereka ini menyatakan, walaupun asasi kebenaran keduanya berbeda, tetapi ada beberapa kesamaan. Mestinya, sifat kebenaran agama-sains bersifat saling melengkapi. Dan, tidak bisa dihadap-hadapkan. Kalangan terakhir ini lebih menekankan pentingnya agama menjadi sandaran etis oleh para saintis/ilmuwan dalam bereksplorasi.

Kita bisa melihat tamsil laku kelompok terakhir ini pada potret kejayaan Islam abad 8-14 M. Terutama sekali, kala Khalifah Al-Ma'mun membangun laboratorium besar pengetahuan bernama Bayt al-Hikmah. Di situlah, khalifah mengumpulkan para cendekia untuk mempelajari segala rupa pengetahuan, terutama yang bersifat sains-kealaman. Dari sini, muncul banyak ilmuwan muslim yang berhasil merumuskan aneka ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat, mereka merupakan muslim yang taat. Bahkan, mereka menjadikan Alquran dan Hadits sebagai sumber sains yang harus terus digali, diteliti.

Fenomena di atas justru meneguhkan tesis bahwa piranti agama dapat dijadikan spirit sekaligus gudang pengetahuan untuk selanjutnya dijadikan rujukan riset para saintis muslim. Dari aneka karya mereka, kita bisa mengambil simpulan sekiranya agama dan sains dapat saling melengkapi, saling berkait. Celakanya, belakangan ini, sebagian kaum beragama justru melontarkan argumen bahwa bentuk bumi kita adalah datar seperti cakram. Celakanya lagi, mereka menggunakan dalil-dalil agama untuk mendukung "kebenaran" pendapatnya. Tak pelak, pada momen ini, posisi agama mendadak terperosok ke lubang besar. Alhasil, agama menjadi olok-olokan lantaran menyelisihi kebenaran sains kontemporer.

Sebagai perimbangan, buku ini juga menjewer kalangan saintis modern yang menempatkan sains adalah segala-galanya. Padahal, diakui atau tidak, kemajuan ilmu pengetahuan justru menyebabkan kecemasan dan hilangnya kemanusiaan. Penemuan energi nuklir untuk persenjataan, misalnya. Pun, ditambah eksploitasi sumber daya alam sebagai penopang infrastruktur sains justru mengakibatkan keserakahan manusia dan kerusakan lingkungan (baca: ekonomi liberal dan kapistalistik). Maka, di sinilah seyogianya peran agama memang ditekankan sebagai basis etis. Menurut penulis, Akhmad Alim, agama harus mengembalikan kodrat dan fungsi sains, yakni untuk keadaban manusia dan kelestarian bumi.

Bagi penulis, sains dan teknologi tidak bebas nilai. Penolakan peran Tuhan dalam teori evolusi Darwin dan anggapan bahwa agama tidak perlu dilibatkan dalam pengembangan kehidupan sains menjadi ciri khas upaya sekularisasi pengetahuan. Lebih teknis, Alim lantas mengkampanyekan Islamisasi sains.

Kiranya banyak yang tidak sepakat dengan kampanye itu yang sering dianggap berlebihan. Tetapi, salah satu penjabarannya yang menarik ialah mengarahkan aplikasi sains ke dalam teknologi yang menjamin keberlangsungan pernghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (h: iv). Kiranya yang dimaksud Alim: kemajuan teknologi macam keberadaan media sosial rupanya menghasilkan rupa-rupa fitnah, caci maki, dan hoaks seperti yang sekarang kita rasakan saban hari. Hal inilah yang mesti kita benahi bersama. Mendudukkan agama dan sains secara lebih arif. Wallahu a'lam        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun