Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sampai Kapan Kurma Jadi Oleh-oleh Haji?

1 Oktober 2016   13:16 Diperbarui: 1 Oktober 2016   13:49 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan ritus haji telah rampung. Berduyun-duyun kita menyambut para Haji/Hajah kembali ke Tanah Air. Sebagai bagian dari tradisi yang sudah lama kita tapaki, kepulangan mereka selalu dinanti dengan aneka hal yang bersifat sakral hingga yang bersifat atributif.

Tak lain tak bukan mengharap keberkahan doa dari mereka. Oleh-oleh haji juga mewujud air zam-zam yang bernilai keberkahan dan kemuliaan. Dan, rupa-rupa penganan seperti kurma hingga tasbih dan sajadah.

Boleh jadi kiranya, oleh-oleh haji bukan pada hal-hal sedemikian itu. Bukan diartikan dengan membincang diskursus kemabruran dinilai dari perubahan sikap dengan menjadi saleh dan kian rajin ke masjid. Namun, meluaskan pemaknaan bahwa seorang haji telah menjadi agen perubahan dalam lingkup yang lebih besar, terutama di lingkungan sosial.

Semisal, kita diriwayatkan tentang “oleh-oleh” berhaji zaman kolonial. Sepulang berhaji, para haji menjadi awasan khusus tentara Belanda. Berhaji dianggap menjadi ancaman stabilitas keamanan di tanah jajahan. Apa pasal?

Para haji ternyata membawa oleh-oleh berupa ideologi antipenjajahan. Membawa imaji tentang persatuan. Berikhtiar menggerakkan para bumiputra untuk bangkit melawan penindasan. Pemikiran ini menjadi wajar kala mereka telah berjumpa dengan para haji dari seluruh dunia. Mereka bertukar cerita, berkeluh kesah, sekaligus menekadkan diri untuk segera lepas dari kungkungan kolonialisme secara bersama. Kala itu memang berkembang pesat paham macam Pan Arabisme dan lain sejenisnya yang berkonklusi mewujudkan persatuan atau nasionalisme.

Benar saja, di beberapa daerah seperti di Banten tercatat, para haji langsung tancap gas. Memobilisasi massa melakukan perlawanan meski dengan skala kecil dan temporal. Hikayat ini sayangnya terkesan tersingkirkan dari narasi besar sejarah pergerakan Indonesia yang lebih banyak mencatatkan bahwa gerakan persatuan hanya didominasi para cendekiawan yang bersekolah di Barat.

Dalam zaman yang berubah ketika Belanda sudah mangkat, oleh-oleh haji terus bergeser menjadi sekadar kebendaan dan personifikasi pada peci haji. Simbolitas predikat H/Hj tersemat dalam nama sering berkelindan untuk tujuan-tujuan yang berpusar pada wibawa, prestis, dan anasir keduniawian. Meskipun tanpa bermaksud mensimplikasikan predikat tersebut; dengan asumsi penyematan macam itu merupakan juga sebentuk ikhtiar guna menjaga laku dan tutur dari tindakan tercela alias menjaga kemabruran.

Setidaknya ada hal yang juga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh haji dengan menegaskan bahwa mereka sebenarnya merupakan agen perubahan dalam konteks kekinian dengan kian memudarnya kebersatuan dalam senyawa kebangsaan dan terutama keislaman dalam aras persaudaraan.

Muslim yang mewujud menjadi aneka mazhab dan paham keagamaan mestinya berhikmah bahwa Islam menawarkan seribu jalan pemaknaan yang di mana antar satu dengan lain wajib saling menghormati. Ritus haji telah mengajarkan secara leterlek namun kerap alpa disesap para jemaah.

Semenjak di pesawat, jemaah hakulyakin berbeda-beda untuk bagaimana shalat. Ada yang tetap shalat dengan bertayamum dan ada yang shalat lihurmatil wakti. Sisi melik ritus haji juga membuhulkan kompleksitas “persoalan” fikih yang tentunya melahirkan keberbedaan pandangan muslim kala melakoninya. Sekali lagi, persoalan-persolan tersebut tak menjadi soal dalam aras penghormatan dan toleransi.

Di Tanah Suci, jemaah Indonesia bertemu dengan jemaah dari pelbagai penjuru dunia. Semuanya melebur dalam tujuan yang sama. Hakulyakin, semua urusan fikih lintas mazhab ditemukan pada gelaran Haji. Toh, yang dijumpa adalah penghormatan untuk tidak menegasikan yang lain. Prinsipnya: ini amalku, itu amalmu. Semua sama-sama shalat meski yang satu membaca basmallah yang satunya tidak.

Baik Sunni maupun Syiah, sama–sama memakai pakaian ihram mengeliling Kakbah. Tak ada sinisme di antara mereka karena haji terlarang untuk berbuat semacam itu. Perjumpaan inilah yang idealnya bisa digunakan oleh jemaah haji terutama Indonesia sepulangnnya ke Tanah Air agar kian bijak kala menghadapi perbedaan paham keagamaan yang kini kesannya terus terkoyak.

sumber: satuislam.wordpress
sumber: satuislam.wordpress
Bersua dengan jemaah haji lintas etnis, suku, ras dan warna kulit menjadikan haji bernilai sosial yang teramat tinggi. Untuk tidak menganggap kulit hitam sebagai strata bawah. Lantaran yang menjadi pembeda adalah kualitaa taqwa.

Sekembali ke Tanah Air, jemaah haji kita diharapkan berpunya tepa selira. Dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, spirit haji perlu tertanam kuat dengan menegaskan bahwa dirimu atau sang liyan adalah bagian dari diriku. Nuansa seperti ini akan semakin mengaburkan batasan dan sekat untuk tidak merasa paham ormas keagamaanku lah yang paling benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun