Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Muhammadiyah Persunting NU

26 September 2016   16:34 Diperbarui: 26 September 2016   16:56 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, ada dua peristiwa langka nan meneduhkan bagi tumbuhnya nuansa keakraban yang benar-benar merembes dalam tali-temali relasi NU dan Muhammadiyah. Peristiwa terbaru itu kala putra mantan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais mempersunting cucu tokoh NU Yogyakarta, KH Saiful Mujab.

Fenomena macam itu terbilang monumental karena di akar rumput tidak sedikit yang masih kukuh berpegang kuat soal perinci babakan perjodohan. Kukuh alias begitu fanatisnya memegang sebuah mazhab dan ormas keagamaan. Implikasinya, (kalau bisa) jangan sampai berjodoh dengan yang berbeda mazhab/ormas keagamaan, meski seagama.

Mereka telah menjadi pelebur kekakuan paham keagamaan di akar rumput untuk dijadikan tamsil bahwa fanatisme macam itu tidak relevan masih diterapkan. Lantaran fanatisme mazhab/ormas merupakan antiklimaks dari ikhtiar merajut ukhuwah islamiyah yang berhilir persaudaraan sesama kita.

sumber: senayanpost.com
sumber: senayanpost.com
Dalam konteks tersebut patut diuraikan bagaimana relasi NU-Muhammadiyah yang selama ini selalu tercitra dihadap-hadapkan. Hal ini bisa dirunut sejak kemunculan dua ormas besar dalam memandang akulturasi (perjumpaan budaya lokal dan agama yang menghasilkan budaya/ritus baru). Lantas pula muncul dikotomi: NU itu tradisionil sementara Muhammadiyah perlambang modernitas.

Lebih lanjut, ketidakserasian kerap muncul kala penentuan satu Ramadan dan Syawal. Bila begitu, Lebaran kita terasa hambar karena tidak terayakan bersama. Paling membekas momen relasi surut NU–Muhammadiyah saat Gus Dur sebagai representasi NU dan Amien Rais cerminan Muhammadiyah yang awalnya bersatu dalam percaturan politik tahun 1999 justru berakhir sangat pilu. Teranyar, nuansa “persaingan” itu juga bisa dilihat kala NU menggelorakan “Islam Nusantara” yang lantas tidak lama kemudian Muhammadiyah membuhulkan “Islam Berkemajuan”.

NU-Muhammadiyah merupakan dua ormas sepuh yang usianya melebihi umur Republik ini. Tentu keduanya berpunya peran teramat besar nan penting dalam merintis kemerdekaan Indonesia. Keduanya sama-sama menjadikan pendidikan sebagai basis dakwah yang damai dengan konklusi pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter religius.

Pun, dua pendiri ormas dengan jumlah anggota jutaan itu, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari, merupakan dua sahabat yang pernah nyantri bareng. Upaya “menyatukan”  dan meminimalisasi perbedaan dua ormas itu pernah dicoba Mochammad Ali Shodiqin lewat buku Muhammadiyah Itu NU. Buku yang mengajukan simpulan bahwa fikih keduanya –yang selama ini menjadi alat pembeda—ternyata pernah sama.

sumber: muhammadiyahstudies.blogspot.com
sumber: muhammadiyahstudies.blogspot.com
Karena dua ormas besar ini mempunyai “pengikut” sangat banyak, praktis berimbas terhadap baik-buruk wajah muslim di Indonesia. Mereka adalah representasi dan jujukan bila melihat rupa Islam di tataran negara majemuk macam Indonesia. Menjadi kesuksesan mereka kala Muslim Indonesia (masih) tercitra ramah, guyub nan teduh --bila dibandingkan dengan beberapa negara; menandakan keberhasilan dua ormas itu menjaga Indonesia hingga sekarang.

Tantangan ke depan NU-Muhammadiyah ketika sekat keduanya semakin memudar ialah sebisa mungkin untuk menjadi cerminan bagi adik-adiknya alias ormas-ormas keagamaan lain yang kini keberadaannya kian menjamur. Ketika Muhammadiyah dalam beberapa hal berbeda paham fikih dan amalan warga NU, amatan subyektif penulis, tidak pernah sampai pada mengafir-kafirkan. Ini tentu sangat membedai fenomena belakangan ini dengan bermunculannya kelompok-kelompok takfiri. Inilah sebenarnya tantangan besar itu.

Peristiwa kedua, diadakannya Halal bi Halal warga NU dan warga Muhammadiyah di Jepara. Fenomena menyejukkan macam ini terasa langka namun justru menjadi jembatan guna saling mengakrabkan kembali agar bersama-sama memaknai ulang eksistensinya dalam konteks kekinian. Yakni: bahu-membahu memberdayakan masyarakat di pelbagai bidang.

Teladan Buya HAMKA patut menjadi tamsil bahwa lakon beda fikih bukan menjadi soal. Tasirun Sulaiman dalam buku Wisdom of Gontor menulis hikayat berikut: dalam suatu kesempatan Buya HAMKA bertindak imam shalat subuh di sebuah masjid di mana mayoritas penduduknya merupakan warga Nahdliyin. Namun, betapa kagetnya para jemaah yang tak disangka pimpinan Muhammadiyah itu justru membaca Qunut dengan fasih. Inilah kiranya esensi ajaran Islam untuk bertasamuh. Bukan memaksakan ego dalam tataran ritus yang bersifat furu’iyah/khilafiyah.

Karakter keindonesiaan/Nusantara yang sudah disorongkan oleh penyebar Islam dengan ramah; melalui jalur diplomasi budaya, perdagangan, dan pernikahan serta pula menihilkan laku kasar menjadi watak muslim Indonesia yang telah menghunjam dan membentuk identitas luhur perlu selalu dipertahankan. Sementara di era MEA dan globalisasi hendaknya muslim Indonesia juga mumpuni dalam ranah ilmu pengetahuan-teknologi dan menjadi motor penggerak ekonomi.

NU dan Muhammadiyah bak sepasang sayap burung yang mesti erat lagi bersilaturahim agar mampu terbang kian tinggi nan lincah. Sembari mengabarkan dan menebarkan tentang Islam Nusantara yang Berkemajuan.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun