Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ajakan Toleransi Seputar Puasa

27 Juni 2016   15:09 Diperbarui: 27 Juni 2016   15:11 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki Ramadhan, salah satu kewajiban Muslim ialah mempelajari sesuatu yang akan dilakukannya, yakni: puasa. Sedari awal, Ustad Awy (UA), panggilan akrab penulis buku ini, menganggap meski sudah mafhum tentang gambaran umum syarat-rukun puasa, tapi memang alangkah baiknya menelaah kembali sisi-melik puasa. Sebagai reminder agar semakin mantap melaksanakan segala macam ibadah di bulan Ramadhan (halaman: 85).

Buku berisi kumpulan jawaban UA dari pertanyaan follower-nya di Twitter ini, mendudukkan permasalahan klasik yang hampir terus terulang kala Ramadhan tiba. UA yang mondok sepuluh tahun di Masyru’ Al-Maliky, Rusyaifah, Makkah, ini secara arif mengurai mekanisme cara menentukan awal bulan. Maklum, dewasa kini masalah tersebut justru semakin mengemuka dan sidang itsbat menjadi hal yang membuat ketar-ketir lantaran bisa berpotensi menghasilkan perbedaan hari mulai berpuasa dan berlebaran.

Kerap timbul pertanyaan: mengapa sidang itsbat khusus dilaksanakan kala hendak Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah? Ya, lantaran ini berkait erat urusan ibadah: puasa. Dengan artian, berimplikasi waktu terhadap sah-tidaknya ritual puasa: belum waktunya puasa kok sudah berpuasa atau sudah waktunya lebaran kok masih berpuasa. Ini membedai dengan bulan-bulan kalender Hijriah lainnya yang tidak berkepentingan langsung dengan urusan ibadah macam itu. Namun, sekali lagi UA melarang keras untuk menjustifikasi urusan sah-tidak sah puasa. Lantaran itu adalah domain Tuhan. Karena pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh manusia hanyalah sebentuk ijtihad.

Tercapai kesepakatan dalam menunaikan puasa dan lebaran secara bersama merupakan kebahagiaan tak terperi. Namun di Indonesia selama kurun puluhan tahun tidak selalu demikian. Dan, perbedaan puasa dan lebaran kerap menimbulkan kegaduhan di akar rumput.

Demokrasi di Indonesia menghadirkan sebenar-benar ruang besar menyampaikan pendapat dan ekspresi. Ini tentu membedai di beberapa negara Timur Tengah yang di mana seluruh elemen ormas keagamaannya patuh, tunduk, dan menaati terhadap apapun yang ditetapkan oleh Kemenag/MUI-nya negara tersebut. Sehingga, hal ini mengikis potensi perbedaan berpuasa dan berlebaran.

Terlepas dari itu, perbedaan awal puasa atau id tidak perlu diributkan jika mampu memahami ranah apa yang jadi wilayah perbedaan pendapat. Dan, tentu saja, saling menghargai perbedaan itu sendiri merupakan sebuah keharusan mutlak. Ya, perbedaan itu muncul karena perbedaan sudut pandang dalam memahami suatu nash agama terkait penentuan awal masuk bulan (halaman: 72).

Cara yang disepakati seluruh empat mazhab dalam penentuan awal bulan --berdasar pemahaman mereka pada hadis Nabi Saw-- adalah dengan melakukan rukyat (melihat bulan) secara manual. Tak satupun imam mazhab menyatakan bahwa cara menentukan awal bulan bisa dengan hisab, meski perhitungannya akurat seratus persen. Hisab hanya sekadar alat bantu, bukan sebagai pedoman. Sebab, pedoman utama adalah rukyat (halaman: 73).

Namun, jika saat ini ada kelompok yang berpegang teguh pada pendapatnya soal hisab semata (dan tentu pemahaman kelompok ini berdasar pula pada nash agama), kiranya hal ini merupakan sebuah ijtihad yang harus dihargai juga (halaman 73). Maka, setali tiga uang dengan pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, bahwa dua metode: hisab dan rukyat, sebenarnya merupakan dua metode yang dapat saling melengkapi. Jadi, baru terkata keliru ialah dengan merasa metodenya yang paling benar.

Sikap toleransi juga selayaknya diterapkan pada “kegaduhan abadi” bilangan shalat tarawih: 8 rekaat atau 20 rekaat. Menariknya, UA memberikan paparan bahwa kemunculan dua “kubu” praktik keagamaan umat muslim itu berdasar pada dalil hadis yang sama-sama kuat. Sekali lagi imbauan UA, yang terpenting ialah tidak merasa bilangan shalat tarawih-nya lah yang benar atau paling sesuai dengan shalat tarawih Nabi Saw.

Buku yang tidak hanya membahas puasa ini disampaikan dengan narasi renyah namun berbobot serta menyajikan aneka pendapat dari empat imam besar literatur fiqih. Walhasil, mengikis anggapan bahwa buku ini cocok hanya untuk yang bermazhab Syafi’i. Poin penting berikutnya, UA secara rancak terus mencari titik tengah perbedaan pendapat antar-imam tersebut. Beikhtiar bertoleransi dalam aneka persoalan keagamaan untuk tidak terjebak pada fanatisme bermazhab. Lantaran (praktik) agama itu mudah, tidak perlu dipersulit. Wallahu a’lam.

Data buku:

Judul: Dari Jilboobs hingga Nikah Beda Agama

Penulis: Awy A. Qolawun

Penerbit: Noura Books, Jakarta

Cetakan: 2015

Tebal: 234 Halaman

ISBN: 978-602-0989-33-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun