Atas dasar berlimpah keberkahan dan ampunan di bulan Ramadhan, berbondong-bondong Muslim lebih menggiatkan urusan ukhrawi. Laku Muslim sontak berubah lebih khusyuk. Ramadhan dijadikan sebagai ajang pembenahan mentalitas diri membentuk pribadi yang lebih bisa mengendalikan hasrat nafsu. Laku-laku jahil menggunjing, culas, hipokrit berusaha keras diredam. Dalam tataran yang lebih luas, suasana Ramadhan terasa lebih khidmat ketimbang di bulan lain.
Fenomena tersebut lantas mengacu pada hadis Nabi Muhammad SAW yakni: “Ketika malam pertama bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu”. Hadits riwayat Imam Turmudzi itu secara sahih berkait erat tentang keistimewaan bulan Ramadhan. Secara harfiah, petuah Baginda Nabi itu dapat termaknai bahwa Ramadhan membedai bulan-bulan lain di mana setan dan kawan-kawannya sesuka hati melampiaskan aneka rayu menjerumuskan anak cucu Adam pada kubangan dosa.
Hadis tersebut kemudian ditarik menjadi hipotesa tentang situasi yang lebih religius ketimbang di luar Ramadhan. Yang tadinya terlalu mudah bergosip ria seketika bisa menahan diri. Namun, hadis itu juga memunculkan pertanyaan reflektif: bila setan dibelenggu, mengapa di bulan suci masih dijumpa laku maksiat yang tidak seratus persen hilang? Bukankah ini semacam paradoks.
Ulama kharismatik Yogyakarta, KH Zaenal Abidin Munawwir (w: 2014), dalam suatu kesempatan menyampaikan jawaban menghunjam atas fenomena tersebut; bahwa puasa Ramadhan bisa dijadikan tolok ukur sejauh mana antara peran setan dan kebobrokan hawa nafsu dalam diri manusia berkelindan. Bahkan dalam puasa pun kita masih asyik berlakon maksiat seperti halnya di hari-hari biasa, menandakan justru dorongan nafsu itulah yang lebih mendominasi dalam jiwa manusia.
Persis seperti terkandung dalam karya Fakhruddin Nursyam, Misteri dan Keajaiban Bulan Ramadhan,yang oleh sebagian ulama menafsirkan hadis Nabi tersebut sedemikian itu. Lebih lanjut, Imam Qurtubi menyibakkan bahwa dibelenggunya setan bagi orang berpuasa, tidak menunjukkan konsekuensi hilangnya keburukan dari muka bumi. Karena selain godaan setan, tindak keburukan memiliki sebab-sebab lain seperti kebusukan jiwa, kebiasaan yang buruk, atau setan-setan manusia (halaman: 68).
Apakah ada “setan-setan manusia”? Fakhruddin yang menampilkan seluruh hadis di bukunya ini bernilai sahih memaparkan hadis lanjutan: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan-setan (dari golongan) jin dan manusia.” Abu Dzar bertanya, “Apakah ada setan-setan dari kalangan manusia?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR: Imam Nasa’i). Dipaparkan lebih lanjut perihal setan manusia itu, yang oleh Malik bin Dinar dalam kitab Al’ujluni menyatakan setan-setan manusia seringkali mengungguli setan-setan jin (halaman: 71).
Sayang sekali Fakhruddin tidak merinci apa yang dimaksud setan manusia. Apakah manusia yang mengubah wujud menjadi setan seperti laiknya adegan film di layar kaca; kiranya tidak demikian lantaran setan dan manusia merupakan entitas berbeda. Namun, bila menilik lebih mendalam atas fenomena mutakhir tentang lakon manusia kala berpuasa pada era modernitas seperti sekarang ini, mungkin dirasa menemukan penjabarannya.
Kurnia JR (2016) dalam Sebulan Kemustahilan menggadang bahwa agama pada era kekinian telah berubah menjadi festival. Riuh dengan aneka gebyar-gebyar yang sekali lagi bertaut kembali pada urusan komersialisasi-konsumerisme. Sedangkan esensi puasa sebagai elan spiritualitas dikesampingkan. Keriuhan festivalisasi agama bisa dilihat dengan justru kita lebih konsumtif di bulan puasa, yang seharusnya mengidealkan kesederhanaan dan laku prihatin. Nafsu berbelanja lebih dan berbuka dengan menu serba lengkap di luar kewajaran inilah yang mungkin kiranya representasi “setan-setan manusia”.
Selain topik setan dibelenggu, masih banyak tersaji hadis-hadis berkandung makna metafisik seputar Ramadhan yang dalam karya lulusan Fakultas Syariah LIPIA ini disebutnya “misteri”. Menyikapi itu, sebagai bagian ta’abbudi, tentu kita wajib meyakini hadis-hadis tersebut. Bisa pula aneka hadis metafisik dimaknai dengan pendekatan sastrawi.
Lepas dari itu, yang terpenting seperti tuturan Fakhruddin menyikapi kajian Setan Dibelenggu ialah hendaknya menjadikan Ramadhan sebagai momentum tepat menata kebiasaan luhur. Sehingga laku kesalehan bakal terpatri pada sebelas bulan berikutnya. Walhasil, kita tidak perlu terus-menerus mengambinghitamkan setan atas pelbagai laku kemaksiatan yang masih terjadi di bulan suci. Wallahu a’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H