Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Kementerian Pariwisata telah mencanangkan sembilan daerah destinasi wisata yang diproyeksikan menjadi barometer pariwisata halal (halal tourism): Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Makassar dan NTB. Warta mutakhir, Lombok berhasil menyabet penghargaan sebagai World Best Halal Destination pada ajang Halal Travel Award 2015 di Dubai, Uni Emirat Arab, beberapa waktu lalu.
Terma wisata halal mengandaikan ada musala di lokasi wisata serta kebersihan toilet selain mensyaratkan pula tersedianya hotel dan resto berlabel “halal”. Namun, wisata halal tidak melulu dengan hanya berkutat ketersediaan hotel maupun restoran berbasis syariah; sebagaimana konsep wisata halal pada tataran laku ejawantah.
Potensi wisata religi
Sedangkan di Indonesia sudah berpunya banyak destinasi wisata berbasis halal cum religi pula. Yakni, menapaktilasi situs para penyebar agama Islam. Di Tanah Jawa diistilahkan Wali Sanga. Begitupun di daerah-daerah lain yang berpunya tokoh tersendiri beserta artefak peninggalannya. Seperti halnya peninggalan berupa mesjid. Di Indonesia terbilang banyak mesjid sebagai situs bersejarah. Di Aceh terdapat Mesjid Baiturrahman. Di Solok ada Mesjid Tua Kayu Jao, serta di Lombok berpunya Mesjid Kuno Bayan.
Sayangnya, wisata religi napaktilas macam di atas selama ini lebih didominasi pelancong domestik. Terlalu sedikit/teramat jarang wisatawan mancanegara (wisman) berkunjung ke sana. Toh, pariwisata Indonesia tidak sekadar menawarkan eksotisme pantai di Bali atau keindahan panorama alam bawah air macam wisata bahari, bukan? Apalagi selama ini wisata religi terkesan belum mendapat perhatian optimal. Membedai Arab Saudi dalam “penggarapan” wisata religi; jemaah umrah dari berbagai negara tidak berhenti pada lokus tempat ibadah umrah semata, melainkan juga “dibelokkan” ke Jabal Uhud, Masjid Quba, Masjid Qishash, dan Jabal Rahmah.
“Strategi” macam itu kiranya dapat dijadikan referensi pengembangan wisata religi Tanah Air. Semisal ketika wisman datang ke Jawa Tengah; selain menikmati wisata bahari Karimunjawa, bolehlah dimampirkan pada objek wisata religi di Kabupaten Kudus. Di Kudus terdapat wisata religi berupa pusara Sunan Kudus serta simbol toleransi bernama Menara Kudus; menara mirip candi. Menara Kudus menjadi simbolitas kerukunan antarpemeluk agama. Oleh karena itu, Kudus menyimpan dimensi negoisasi budaya-religi yang mendalam hingga dijuluki sebagai Jerusalem-nya Jawa. Kudus juga menyibakkan wisata religi lain, yakni, pusara Sunan Muria serta eksotisme Air Terjun Montel.
Hal macam demikian itu, selain menunjukkan wisata halal dapat berpadu-padan dengan wisata religi, juga bisa diambil produk turunannya: kuliner, pakaian tradisional, rumah adat, dan kebudayaan. Bagaimana orang Kudus asyik mansyuk dengan ciri-khas jajanan jenang alias dodol. Tersembul pula pembelajaran toleransi dari semangkuk Soto Kudus yang menggunakan daging kerbau ketimbang berbahan daging sapi. Ditambah lagi dengan Batik Kudus serta identitas rumah Joglo Pencu-nya. Bila di Kudus saja terkira betapa kaya potensi wisata religi yang bisa diperoleh, apalagi bila ditambah dengan kota-kota lain dengan kepunyaan potensi serupa.
Orientasi macam inilah yang kiranya perlu dioptimalkan lantaran kita punya banyak artefak kebudayaan Islam yang bisa memikat banyak pelancong manca. Sekaligus sebagai nilai tambah pengembangan konsep wisata halal. Karakter muslim Indonesia yang mampu hidup berdampingan antarsuku-antaragama juga sebagai identitas khas tersendiri yang dapat “dijual”, membedai karateristik muslim negara lain.
Merujuk pengembangan “wisata religi” di Iran, misalnya; ketika wisatawan menapaktilasi pusara dan mausoleum para begawan sastra dan agamamawan macam Hafiz, Saadi, Fariduddin Attar, dan Ibnu Sina. Menariknya, di sekitar pusara atau mausoleum dibangun pula tugu, taman, dan perpustakaan. Sekiranya hendak mengguratkan pesan implisit bahwa para leluhur tersebut hanya mati ragawi. Dan, selebihnya telah menyeruak dalam identitas masyarakat Iran sebagai imaji keteladanan dan kebanggaan. Itulah inti dari wisata religi macam demikian. Pun di Konya, Turki, masyhur dengan pusara Jalaluddin Rumi; Hagia Sophia, dan Masjid Biru. Di India terdapat Taj Mahal. Di Spanyol ada Istana Alhambra.
Bukankah kita juga punya banyak situs kerajaan-kerajaan Islam masa lampau yang masih kokoh berdiri. Tentunya kerajaan tersebut mempunyai banyak artefak peradaban seperti halnya objek wisata religi di mancanegara tersebut. Apalagi kita juga berpunya destinasi wisata Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Toh, terkira sangat banyak turis muslim tetap mengunjunginya. Hal yang sama juga kiranya bisa diterapkan ketika pelancong non-muslim dapat menapaktilasi peninggalan Kerajaan Gowa Tallo atau Kesultanan Banten.
Tantangan besar pengembangan wisata religi vis-a vis wisata halal ialah sebisa mungkin terlepas dari sebuah anasir wisata yang khusus diperuntukkan bagi pelancong muslim. Dengan artian, agar turis non-muslim bisa pula menikmati wisata religi kita tersebut. Sama halnya restoran bersertifikat halal yang mampu menyedot penikmat kuliner lintas agama.