Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Punya Buku Tanpa Harus Membeli

1 Januari 2015   06:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan mahasiswa terhadap buku sangat penting. Tak selamanya perpustakaan mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam tugas penulisan makalah. Maka, si mahasiswa harus membeli buku. Termasuk saya, alasan klasik sebagian mahasiswa enggan membeli buku lantaran minimnya uang bulanan kiriman orang tua. Kondisi demikian harus diubah. Bagaimana agar mempunyai buku tanpa harus membeli.

Di Yogyakarta, berjubel penerbit buku. Mereka mencari untung dengan penjualan buku. Nah, saya tebersit ikut mempromosikannya. Tidak, saya tidak bekerja menjadi sales marketing. Saya berpromosi dengan cara meresensi.

Ketika merampungkan sebuah resensi, saya mengirimkannya ke media cetak nasional. Karena hanya dari sanalah resensi mendapat honorarium plus reward buku dari penerbit. Tapi, persaingan sangat ketat. Saya tidak terlalu beruntung. Saya beralih mengirimkannya ke koran daerah. Meski tak berhonor, penerbit masih sudi memberi reward buku. Sayangnya, meski pernah berkali-kali dimuat, tapi masih lebih banyak yang ditolak.

Resensi-resensi yang tertolak saya kirim ke media online/blog/catatan di Facebook. Media online adalah sarana termudah artikel dimuat. Termasuk resensi saya. Ketika ter-publish, saya tak mengharap honorarium dan reward buku; karena memang tak bakal mendapatkannya. Namun, merasa gembira manakala resensi saya dibaca, di-like dan dikomentari.

Saya aktif mengikuti lomba resensi. Banyak yang berakhir nihil. Pernah ditipu panitia lomba. Dan, beberapa kali menyabet juara. Hal paling membanggakan/memotivasi saya sampai sekarang ialah ketika memenangi lomba resensi yang berhadiah uang jutaan rupiah, gadget, dan umrah. Saya menerka-nerka; apakah hadiah-hadiah istimewa itu merupakan imbalan --tak langsung-- dari rutinitas berkirim resensi ke media online yang tak berhonor. Entahlah. Dari uang hadiah lomba, saya bisa membeli banyak buku. Tanpa harus meminta orang tua uang tambahan. Tak perlu pula repot-repot meminjam buku kepada teman atau perpustakaan.

Kini, hampir-hampir setiap media cetak berpunya rubrik resensi pada setiap pekan. Sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan secara optimal: menjadi profesi. Meresensi merupakan ikhtiar melek ilmu sekaligus mendatangkan duit. Namun, melampaui itu, meresensi adalah upaya berbagi informasi dan pengetahuan yang tak melulu selalu berorientasi pemerolehan materi. Ada perasaan yang sulit diungkapkan manakala resensi Anda dapat berkontribusi positif dalam kehidupan masyarakat. Jadi, meresensi saja! Tak peduli meski hanya termuat di blog pribadi atau media online. Meyakini setiap usaha mulia macam meresensi pasti mendapat imbalan yang mulia dari Yang MahaMulia.
[caption id="attachment_387585" align="alignnone" width="300" caption=""][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun