Mohon tunggu...
UKM Penalaran ITS
UKM Penalaran ITS Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Baik buruk tulisan kami hanyalah vonis, kami tidak akan berhenti karena vonis. Yang penting adalah kami belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Santri Nyarito : Ibu (Bagian 1)

22 Oktober 2015   22:45 Diperbarui: 22 Oktober 2015   22:50 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibu"][/caption]Mengingat kata santri membuat aku mengingat masa kecil, Saat itu masih SD kelas 2. Aku mulai belajar membaca Alqur’an melalui tahapan kitab berjilid I-VI -(sekarang jilid I-IV)- yang benama Qira’ati. Dikarang oleh K.H Dahlan Salim Zarkasyi. Satu jilid terdiri dari 60 halaman. Sebenarnya saat TK sudah mulai belajar, namun hanya 2 atau 3 hari karena saat “gojekan”(istilah jawa untuk bercanda) di “langgar”(tempat ngaji) dimarahi oleh nenek. Seperti anak kecil pada umumnya, takut dan akhirnya gak berani ngaji.

Menunggu beberapa tahun, sampai akhirnya aku diajak oleh salah satu sahabat untuk mengaji. Berkali-kali dia mengajak, berkali-kali juga aku menolak. Entah sampai ajakan keberapa akhirnya mau ngaji. Mungkin juga karena desakan ibu saat itu. Masih teringat kata-kata beliau, kira-kira seperti ini:

“Sing mbok wedeni opo?” (Apa yang kamu takutkan ?)

Memang sulit rasanya melupakan kejadian terkena marah saat itu. Sampai sekarangpun masih teringat-ingat.

Saat kembali masuk ke langgar pertama kalinya dalam beberapa tahun setelah kejadian, rasanya plong, lega. Senang sekali sahabat-sahabat mencarikan jilid baru untukku. Tentunya jilid satu dengan halaman pertama :

“A BA,”

“A.A BA.BA A.BA”

"......................."

“A.BA.A BA.A.BA”

"......................."

[caption caption="qiraati jilid 1 halaman 1 sumber gambar :http://i.ytimg.com/vi/SGU-pKvrS6M/hqdefault.jpg"]

[/caption]

Untuk halaman pertama itu, aku tak minta di ajari. Memang itu yang sempat kupelajari sebelum gojekan membuatku berhenti ngaji.

Satu masalah terlewati muncul permasalan lagi. Melihat sahabat ngaji pakai sarung aku jadi ingin bersarung. Tentu aneh kalau yang lain bersarung aku pakai celana sendiri. Sudah beberapa hari ibu janji dibelikan sarung. Tetapi tak juga aku melihat barang yang bernama sarung sampai ditangan. Alasannya Ibu belum ke pasar. Terpaksa ku keluarkan jurus andalan , merengek,”nangis gulung-gulung”.

Akhirnya sarung warna biru tua bercorak putih sampai pada tanganku. Walaupun kainya tipis “semrawang” tak mengurangi sedikitpun rasa senang. Yang kupikirkan saat itu yang penting punya sarung, titik !. Di saat aku mengingat momen itu lagi perasaan senang masih terasa sampai sekarang. Mungkin karena saat itu Ibu memberikanya sambil tersenyum.

 

Bersambung........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun