Pengeroyokan Muhammad syukur, seorang anak kelas 1 SD Negeri Tamalanrea V, Makassar kembali menorehkan luka bagi bangsa ini. Muhammad syukur meninggal pada tanggal 31 Maret lalu di rumah sakit Ibnu Sina. Dugaan Kasus pengeroyokan pada hari kamis 27 maret 2014 lalu,masih akan terus didalami oleh pihak Polsek Tamalanrea. Pelakunya adalah tiga teman sekelas Syukur yang masih duduk dibangku kelas 1 SD juga.
Komisaris Polisi (Kompol) Ahmad Yulias menjelaskan, “Mereka mengakui semuanya, saat kami periksa. Katanya ada yang menendang pada bagian perut dan dada. Juga ada yang mengaku mendorong,”
Nurdani, ibu kandung Syukur membenarkan atas pengeroyokan yang dilakukan saat pulang sekolah. Syukur mengatakan perutnya sakit, akibat dikeroyok. Demikian yang dilansir rakyatsulsel.com.
Ada apa dengan kriminalitas anak dan remaja saat ini ?
Masih segar dalam ingatan kita, Potret kasus pembunuhan Ade Sara kemudian Mia Nuraini yang melibatkan remaja sebagai eksekutor pengeroyokan. Kini seorang anak yang masih menduduki kelas 1 SD pun mempraktekkan hal-hal yang tidak sewajarnya. Darimanakah anak-anak kecil ini mengimitasi perbuatan tersebut? Apakah yang telah mereka tonton dan seberapa besarkah intensitas kekerasan yang mereka perhatikan? Apakah media yang mereka gunakan sebagai sarana, Film? Game ? bagaimana keberadaan orang tua yang notabene perlu siaga dalam memilih dan memilah asupan tontonan yang ada?
Faudzil adhim seorang pakar parenting menjelaskan Salah satu akibat dari Game yang ber-genre kekerasan akan memunculkan sikap ofensif (yakni kecenderungan untuk menyerang orang lain bila merasa terganggu, baik karena dinasehati atau karena merasa tidak nyaman saja dengan orang lain) dimulai dari selfish (hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Perilaku membentak dan menyerang secara lisan merupakan bentuk perilaku ofensif yang masih relatif ringan. Tindakan lebih parah adalah tindakan fisik. Jika tidak segera memperoleh penanganan, anak dapat memiliki kecenderungan destruktif (menghancurkan).
Pakar keluarga dari Yayasan Kita dan buah hati, Elly Risman menjelaskan fenomena dibalik hal ini. Titik tekannya, tentang peran orang tua, banyak para orangtua yang tidak siap dan tidak pandai menjalankan amanah sebagai orang tua. Kecenderung kurang peduli dalam membangun komunikasi yang baik dan menyenangkan kepada anak-anak mereka. Hal ini membuat anak-anak lebih suka mencari kenyamanan diluar rumah.
Tentunya dengan kebebasan diluar rumah untuk bermain game kekerasan saja dalam jangka panjang akan mempengaruhi perilakunya.
Kurangnya peran ayah dalam pengasuhan dirumah memunculkan dampak negatif. Kenakalan anak- anak dan remaja yang terjadi dimasyarakat kebanyakan dilakukan oleh anak laki-laki. Hal ini karena anak laki-laki tidak mendapatkan role model atau teladan dari para ayah mereka dirumah. Anak laki-laki tidak dijadikan prioritas untuk dididik sebagai anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan dididik sebagai orang yang kelak akan menjadi kepala orangtua.
7 tahun pertama, 7 tahun kedua dam 7 tahun yang terakhir
Fenomena atas banyak sekali potet kriminalitas ini, kiranya agar menjadi evaluasi besar. Bagaimana masyarakat sadar akan peran sebagai orang tua, memiliki empati atas fenomena ini. Masyarakat perlulah kembali mengkoreksi konsep mendidik anak-anak dirumah. Mari kita kembali mengingat role model yang ada, sebagaimana figur seorang ayah, Ali bin Abi Thalib yang mengkonsep pertumbuhan anak kedalam tiga tahapan usia.
Untuk 7 tahun pertama dalam kehidupan seorang anak dilayani dengan sangat baik sebagaimana anak raja. Tentunya dilayani tidak sama dengan menuruti semua kemauan seorang anak.
7 tahun kedua, seorang anak diperlakukan sebagai prajurit. Diajarkan kemandirian, melayani diri sendiri dan membantu orang lain serta melatih kedisiplinan dan belajar bertanggung jawab dengan memberinya tugas harian.
7 tahun yang terakhir adalah memperlakukan anak bagaikan seorang perdana mentri atau sebagai orang kepercayaan sekaligus sahabat. Di mana pada tahap ini anak sudah masuk ke fase remaja atau akil balig.
Perilaku buruk seorang anak, tidaklah muncul begitusaja, mereka akan mengawalinya dengan melihat, menirukan dan akhirnya melakukan apa yang tadinya dia lihat. Gawatnya bila ini menjadi perilaku, karena akan terus dilakukan berulang-ulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H