Kanker leher rahim (kanker serviks) merupakan kanker terbanyak yang diderita perempuan di Indonesia. Secara statistik, hampir setiap 1 jam terdapat 1 perempuan yang meninggal akibat kanker leher rahim. Data rumah sakit sentral Indonesia terdapat 15.000 pasien baru kanker leher rahim setiap tahunnya, dan 8.000 di antaranya meninggal. Keadaan ini berbeda dengan di negara maju, umumnya kanker serviks sudah menurun jumlahnya berkat program skrining kanker serviks. Di Indonesia masalah banyaknya kasus kanker serviks diperburuk lagi dengan banyaknya kasus (>70%) yang sudah berada pada stadium lanjut ketika datang ke rumah sakit.
Kanker serviks sendiri membawa permasalahan yang kompleks, sebab selain menimbulkan permasalahan di bidang kesehatan, permasalahan juga dapat timbul di bidang perekonomian dan sosial. Dari segi kesehatan, jelas penyakit ini memiliki dampak yang serius terhadap kualitas hidup penderitanya, sedangkan dari segi ekonomi pengobatan untuk penyakit ini juga tergolong tidak murah dan jelas sangat memengaruhi perekonomian keluarga penderitanya terlebih pada penderita bukan peserta jaminan kesehatan. Solusi tepat terkait permasalahan ini adalah dengan deteksi dini.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi solusi tepat terkait permasalahan kanker serviks. Melalui Undang-undang No 34 tahun 2014 Puskesmas didaulat sebagai lini pertama dalam penanggulangan kanker yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Puskesmas melaksanakan tanggung jawab tersebut melalui program deteksi dini dan penanggulangan awal dengan cryotherapy.
Deteksi dini dapat dilakukan melalui papsmear atau Inspeksi Visual Asam (IVA). IVA adalah deteksi dini kanker leher rahim alternatif selain pap smear untuk memeriksa daerah yang tidak bisa dijangkau oleh pap smear. IVA dilakukan dengan cara mengolesi leher rahim dengan asam asetat, untuk melihat tanda-tanda lesi prakanker (tahapan sel-sel berubah menjadi sel-sel buruk yang berpotensi menjadi kanker). Hasil IVA bisa dilihat langsung saat itu juga sehingga dapat diambil keputusan cepat mengenai penatalaksanaannya. Selain mudah dan terjangkau, IVA juga memiliki akurasi yang sangat tinggi (90%) dalam mendeteksi lesi atau luka prakanker.
Wanita dengan hasil IVA positif selanjutnya dapat ditatalaksana dengan cryotherapy sebagai tindak lanjut dari deteksi dini yang telah dilakukan. Cryotherapy sebenarnya terapi kanker dengan cara dibekukan dan dipanaskan, merupakan sebuah teknologi ablation yang sangat penting. Pada saat gas yang bersifat dingin (misal argon, nitrogen, atau bisa gas lain yang memiliki suhu sangat rendah) dilepaskan dari ujung jarum, dalam hitungan detik jaringan kanker akan langsung membeku dengan suhu -120℃ hingga -180℃ dan terbentuk seperti bola es, jaringan kanker dalam bola es akan kekurangan darah dan oksigen serta berada pada suhu 180℃, yang membuat sel kanker mati membeku.
Pada saat gas helium (atau gas lain yang memiliki fungsi yang sama) dilepaskan dari ujung jarum, suhu akan naik menjadi panas 20℃ hingga 40℃, kanker yang tadinya membeku seperti bola es akan meleleh dan hancur, maka mencapai keefektifan untuk memusnahkan jaringan kanker. Waktu dan kecepatan dalam menaikkan atau menurunkan suhu, maupun ukuran dan besar kecil bola es dapat diatur dan dikontrol dengan ketelitian yang tinggi.
Dalam praktiknya cryotherapy hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang terlatih. Dinas Kesehatan sudah melakukan pelatihan terhadap dokter-dokter di Puskesmas yang nantinya akan menjadi pelaksana program ini. Pengadaan barang juga sudah dilakukan. Namun program mulia ini tersandung oleh sebuah permasalahan yang sederhana namun kompleks. Klasik, soal dana dan jaminan kesehatan. Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), sehingga dalam program ini BPJS terlibat sebagai pihak yang menanggung biaya pasien yang berobat ke puskesmas, termasuk di dalamnya pasien yang menjalani cryotherapy. Seharusnya ini menjadi berita baik, Cryotherapy gratis.
Dalam kasus di puskesmas kami (dan mungkin di Puskesmas lain di kabupaten kami) BPJS bersedia menanggung biaya cryotherapy namun dengan nominal pembayaran yang di bawah biaya operasional dan pasien dilarang iur bayar. Hal ini disebabkan karena penganggaran terhadap alat habis pakai cryotherapy di antaranya gas yang digunakan tidak sesuai dengan realisasi di lapangan sehingga biaya operasional tidak sesuai dengan rencana awal.
Hasil akhirnya adalah meningkatnya biaya operasional sehingga tarif yang awalnya disepakati antara penyelenggara (dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas) dengan BPJS selaku pihak asuransi yang menanggung pembiayaan pasien yang mengikuti cryotherapy tidak cukup untuk menutup biaya operasional tersebut. BPJS sendiri menyatakan bahwa iur bayar dalam hal ini tidak sesuai dengan Pasal 21 Permenkes 71/2013 dan Peraturan BPS no 1/2014 pasal 62 terkait iur bayar sehingga selisih biaya ini tidak boleh ditanggung oleh peserta BPJS maupun BPJS sendiri. Sontak hal ini menuai kontroversi di kalangan medis kabupaten kami, siapa yang berkewajiban membayar kekurangannya?
Setidaknya kasus di atas merupakan salah satu masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan JKN di tingkat puskesmas. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia, jika akhirnya menimbulkan masalah yang berujung pada terhambatnya pelayanan kesehatan agaknya pelaksanaan JKN di tingkat Puskesmas harus dievaluasi dan diperbaiki.
Program skrining dan cryotherapy yang tujuan awalnya sudah berpedoman terhadap undang-undang harus terhambat karena regulasi terkait dilarangnya pemungutan biaya tambahan terhadap peserta BPJS yang menjalani cryotherapy (iur bayar) namun dengan plafon pembayaran oleh BPJS yang nominalnya tidak munutup biaya operasional. Apabila dikembalikan kepada undang-undang nomor 24 tahun 2011 sudah sepantasnya pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan program kesehatan tersebut mencari solusi yang tepat, dalam kasus ini pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan, Puskesmas sebagai pelaksana kebijakan, serta BPJS sebagai pihak terkait pembiayaan.
Terkait pembiayaan BPJS di Puskesmas ketentuan pembayaran yang diatur dalam PMK no 28 tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan program JKN disebutkan bahwa: (1) BPJS Kesehatan membayar Fasilitas Kesehatan yang memberikan layanan kepada Peserta. (2) Besaran pembayaran ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi Puskesmas/dokter keluarga/RS/setara di wilayah tersebut sesuai standar tarif Menteri. (3) Kesepakatan tersebut dilakukan denganperwakilan di setiap provinsi (4) Jika tarif tidak disepakati oleh asosiasi fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan maka besaran pembayaran disesuaikan dengan tarif menteri. Jika permasalahan ini kita kembalikan lagi kepada regulasi yang telah disepakati, maka tarif menteri merupakan solusi yang paling sesuai
Sudah dua setengah tahun lebih JKN diterapkan di Indonesia, berbagai permasalahan terkait pelaksanaan JKN datang dan pergi terlebih apabila dikaitkan dengan BPJS. Kadang timbul di benak kami petugas medis yang menjadi salah satu dari sekian banyak bidak dalam papan catur yang disebut JKN “Benarkah JKN membawa kesejahteraan dalam bidang kesehatan bagi seluruh warga Indonesia ?”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H