PAGI INI KOPIKU PAHIT
Aku tersentak, terbangun dari tidur saat bunyi alarm terdengar nyaring menusuk gendang telinga. Pagi ini, betapa terkejutnya aku saat terbangun dan tak ada Dimas di sampingku.
"Dim ...," teriakku.
Bergegas aku turuni anak tangga satu demi satu, lalu menuju dapur. Aku melihat Dimas sudah menungguku juga secangkir kopi di atas meja.
Iya, Dimas dan secangkir kopi, keduanya adalah gambaran pagi yang indah meski mereka hanya memandangku dengan tatapan kosong itu.
"Tubruk dengan sesendok gula!" Dimas berseru sambil melirik secangkir kopi.
"Kau tahu semua hal tentangku, terima kasih." Aku mendekati Dimas dan langsung berhambur memeluknya. Sungguh! Dalam rangkulannya aku selalu menemukan bahagia. Sejenak, kami saling tatap di antara asap kopi yang perlahan melindap.
"Senyumlah, mungkin Tuhan sedang mengajak kita bercanda, sekali-sekali kopi tubruknya tanpa gula, biar ada sesuatu yang beda," ucap Dimas. Dan aku tak terlalu menanggapinya.
Pagi berikutnya setelah mengusap air mata, dengan malas menuruni anak tangga menuju dapur. Seperti biasa, Dimas telah menungguku.
"Menangislah, tapi jangan terlalu lama," ucapnya sambil menjentik dagu, lalu mengisyaratkan supaya aku menoleh ke arah belakangku.