Aku tak tahan ibu berbicara seperti itu, berlinanglah air mata mewakili kesedihan ibu yang beliau sembunyikan dari matanya.
Kuhampiri secangkir kopi di atas meja, perlahan kureguk.
"Kopi ini hitam dan pahit," lirih hatiku berkata.
Entah berapa banyak pagi yang telah kulewati, ibu masih setia menyeduhkan kopi dan seperti biasa beliau simpan di atas meja dan hanya akulah seorang yang menikmati. Lama kelamaan aku jadi mengenal kopi, kami menjadi begitu akrab karena kopi kerap menghentikan tanya untuk tidak membuat perkara.
***
Pagi ini turun hujan, namun secangkir kopi tak pernah terlewatkan. Kopi dan hujan yang selalu menghadirkan riak-riak kenangan, seperti luka tempo hari yang membuatku tenggelam dalam pekatnya si hitam.
"Maaf, Re. Aku tidak bisa meninggalkannya dan aku harus pergi."
"Tapi, Mas! Bagaimana dengan aku?"
"Kau tentu tahu jawabannya, Re."
Kesalahan apa yang aku perbuat? Aku telah mecoba mendidihkan air dan menyeduh secangkir kopi, lalu mengapa ditumpahkan begitu saja? Kuakui kopi ini hitam dan pahit, yang tak aku sadari bahwa manisnya yang singgah di cangkir lain.
"Ibu, andai engkau masih ada di dunia ini, tolong menangislah untukku, Ibu ...," teriakku di jurang cangkir kopi, sendirian.