BERAKHIRNYA KISAH
Senja tak membuatku beranjak dari tempat ini, berlutut dan berdoa di antara batu hitam.
Aku yang terdiam, menerawang kisah setahun yang lalu di mana kenyataan tak seperti yang di harapkan.
***
Kring ... kring ... kring ....
Bunyi telepon berdering, dengan semangat langsung kumulai membuka percakapan.
"Halo, Sayang! Ada apa?"
Panggilan 'sayang' untuk Taufan kekasihku memang sudah biasa dan begitupun sebaliknya.
"Sayang, malam ini aku jemput, ya? Kita makan di luar." Dengan nada semangat Taufan berkata.
"Makan di mana?" tanyaku.
"Tunggu saja, satu jam lagi aku sampai," jawabnya.
Ada sejenak perasaan aneh melintas, membuat hati cemas. Namun, tak kuhiraukan.
Brak!!!
Angin tiba-tiba menutup jendela begitu keras, hingga menyadarkanku dari lamunan sesaat.
Di ujung telepon Taufan bertanya, "Ada apa, Sayang?"
"Enggak, enggak ada apa-apa hanya ... hanya ...." Aku tak melanjutkan jawabanku, hanya membenarkan jendela sampai terbuka kembali.
"Sayang! jangan malam inilah keluarnya. Sepertinya akan turun hujan." Aku berkata sembari wajah menengadah ke langit yang kala itu tertutup mega hitam.
"Jangan khawatirkan hujan, Sayang. Biar badai sekalipun yang datang akan aku hadapi. Karena aku tak ingin melewatkan hari ulang tahunmu." Taufan berkata dengan nada gombal.
Sambil tersenyum dan menganggukkan kepala walau kutahu Taufan takkan melihatnya, aku hanya menjawab, "Iya Sayang!"
Namun, aku heran. Lagi-lagi perasaan aneh muncul berkelebat mengganggu sesaat lalu dan kembali tak begitu kuhiraukan, hanya menganggap biasa saja.
***
Hari sudah mulai gelap pertanda malam menghampiri. Ternyata benar, hujan turun satu persatu hingga beribu menjadikan malam terasa dingin dan mencekam.
Suara petir menggelegar menampar kaca jendela hingga membuat getaran sebelum kembali kuangkat kembali telepon dari Taufan.
"Sayang! dandan yang manis, ya, Arjunamu segera datang ha ha ha ...." Taufan berkata kembali dengan nada gombal, tapi aku senang.
Suara Taufan seperti tanpa beban, bicara dengan tawa yang lepas, bebas. Tetapi entah kenapa ada sedikit gundah dalam hatiku.
"Sayang! di luar sana hujan lebat. Kita urungkan saja niatnya. Besok kita ketemuan lagi." Aku bicara perlahan.
"Enggak ada kata besok!" tegas Taufan.
"Aku sudah menunggu hari yang tepat, Sayang!" sambungnya.
"Maksudmu?" pertanyaanku singkat.
"Ha ha ha ha ...." Taufan hanya tertawa lepas.
Sikap Taufan yang seperti itu membuatku bertanya-tanya. Karena baru kali ini kudengar suara tawanya yang sedikit membuat bulu kudukku berdiri.
"Ya, sudah, aku siap-siap dulu, ya, Sayang!"
Setelah ucapkan salam kuakhiri pembicaraan kami.
****
Berapa jam berlalu, jam dinding menunjuk angka sebelas, hatiku gundah perasaan berkalut gelisah karena tak seperti biasanya Taufan jam karet.
Kuambil handphone coba menghubungi Taufan, namun hanya operator yang menjawab.
"Tak seperti biasanya begini." rutukku dalam hati.
"Fan ...." batinku memanggil namanya.
***
Dering telepon membuatku bangkit, dengan semangat langsung kuangkat.
"Sayang! kau membuatku cemas. Dari tadi kutunggu. Hah! akhirnya ...." seruku sambil tersenyum bahagia walau kuyakin Taufan takkan melihat senyum gembiraku.
"Nak ...." suara seperti tercekik keluar menjawab sambungan telepon dari ujung sana.
"Ibu? maaf, Bu, kukira Taufan. Dari tadi aku menunggu kedatangannya ...."
Belum selesai aku bicara, Ibu memotongnya dan berkata, "Nak! Taufan telah meninggalkan kita, dia kecelakaan." Ibu berkata sambil terisak.
Perkataan Ibu bagai petir yang seketika menghunjam seluruh tubuhku mematikan urat syaraf hingga aku roboh hanya bertopang lutut.
"Apa ...?" suaraku pelan.
"Iya, Nak!" jawab Ibu meyakinkan.
Entah kapan mulainya gerhana matahari muncul tiba-tiba karena seketika ruangan menjadi gelap gulita.
***