Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Sigit Susanto-Kafka

17 Desember 2024   15:00 Diperbarui: 17 Desember 2024   15:00 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di Indonesia, tidak ada orang cinta Franz Kafka lebih hebat daripada Sigit Susanto, teman lama saya. Minimal itu yang saya tahu.

Sigit Susanto (SS) menerjemahkan Proses (2022) Der Process-nya Kafka dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Dia juga menerjemahkan Surat untuk Ayah (Brief an den Vater, 2017). Tahun ini, SS menginisiasi penerjemahan cerpen-cerpen Kafka ke dalam 13 bahasa daerah, termasuk bahasa Batak Toba, yang diterjemahkan oleh Bang M Tansiswo Siagian, penulis Toba yang baru saja mbrojolkan novel berbahasa Indonesia, Sortauli Putri Seorang Pendeta.


November lalu, dalam rangka Seratus Tahun Kafka, SS --melalui Komunitas Lereng Medini- mengajak 12 pengarang untuk menulis menyoal Kafka, dan sudah dibukukan.  Dan 22 Desember 2024 besok, komunitas yang sama, dengan beberapa penggerak literasi lain, akan bikin Festival Kecil: Tiga Sastrawan Besar: AA Navis, Sitor Situmorang, Franz Kafka. Ketiga sastrawan yang sedang dirayakan di negeri ini, dalam rangka seratus tahun mereka.


Di Boja Kendal, di tanah milik keluarga, SS berkegiatan sastra tiap mudik. Di sini, SS membuat patung Kafka, nama jalan Franz Kafka. Heri Condro Santoso, pegiat sastra Komunitas Lereng Medini --komunitas yang didirikan juga oleh SS, berkata bahwa satu kegiatan anak-anak Komunitas adalah: membaca Kafka. Susah memang, tapi semua bisa dilakukan dengan hati ringan dan gembira. Bisa? Tentu saja bisa. Seperti yang selalu diinginkan oleh SS, sastra untuk semua.  

Dari Apsas ke Boja
Nama SS saya kenal pertama dari tulisannya, Shakespeare & Co. --nama toko buku di Paris Prancis, tulisan dengan tempo yang masih mengesankan ingatan saya, hingga hari ini. Tulisan itu saya temukan di mailing-list Apresiasi Sastra (Apsas), yang terus bermetamorfosis --seperti Kafka di tangan SS.


Dengan bendera Apsas, yang cair dan terbuka, saya menyaksikan kegiatan sastra kampung yang meriah dan menggairahkan. Pertama ke Wonosobo untuk melihat SS menghibur warga desa di sana dengan sulapnya, dengan wig warna-warni yang bertahan beberapa abad kemudian, di sini pula kenal Daurie Bintang yang incredibly fun person.


Lalu ke Ciseel mungkin tahun berikutnya --menyambangi Kang Ubaidillah Muchtar mengajarkan anak-anak desa membaca Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Kang Ubai guru bahasa Indonesia yang sangat berdedikasi. Lokasi Ciseel adalah medan yang luar biasa menggoyang iman. Yang  tahun berikutnya, mengikuti retret sastra semalam di Taman Baca Ciseel, dengan Kurnia Effendi, Endah Sulwesi, Romo F Rahardi -yang diwarnai hujan semalaman dan banjir yang meluapkan sungai, di mana saya n Kang SS berjalan di dalam air sungai seperut sepanjang sekian ratus meter. Mendaki jalan dan tiba di satu tempat yang apa saya lupa, bersama Romo F Rahardi, yang kemudian saya jadi tahu fakta-fakta sastra yang belum pernah saya dengar.


Lalu ke Cianjur --mengunjungi Taman Baca Kang Usep, lagi-lagi bersama Mas Kef dan Endah, waktu kali masih tekun berjualan batik-batik halus dan tidak halus.


Lalu ke Boja Kendal --saya datang dengan Kak Ochie. Ini yang fenomenal. Ini adalah rumah masa kecil Kang SS. Di sini dia bikin Pondok Maos Guyub (mulai tahun 2007) -yang terus bermetamorfosis jadi perpustakan, tahun berikutnya Komunitas Lereng Medini (2008) lahir, yang digawangi oleh Heri Condro Santoso. Lalu festival sastra kecil, mengundang mahasiswa lokal dan pembaca sastra dari kota-kota yang dekat. Di depan rumah dibuat panggung kecil dengan beberapa kursi. Di sini pembacaan karya dan lain-lain.


Festival Boja bikin saya senang mempercayai, bahwa sastra dapat dinikmati dengan cara gembira, dan murah tapi tidak murahan. Waktu jalan-jalan kami jumpa tukang becak yang bisu, Mas SS memintanya untuk membaca puisi. Jadilah si bisu ber-aa-uu, dengan kertas di depannya, seperti sedang membaca puisi. Lamanya membaca, diserahkan ke tukang becak.


Kami naik mobil colt menuju taman baca kecil yang dikelola oleh rekanan Pondok Maos Guyub. Dalam perjalanan, sopir bilang kegiatan ini adalah perefesing (maksudnya refreshing). Saya tertawa. Sejak itu nama si sopir adalah Pak Perepesing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun